Tanggal 5 Oktober 2017, TNI akan memperingati hadi jadinya yang ke 72. Beberapa capaian positif reformasi ditubuh TNI sudah dilakukan untuk mewujudkan TNI yang kuat dan profesional. Namun demikian masih terdapat sejumlah agenda penting reformasi militer yang perlu dilakukan, karena hal tersebut merupakan amanat dari reformasi 1998. Di masa rezim Orde Baru, TNI (ABRI) digunakan sebagai tulangpunggung penopang kekuasaan yang bergelimang dengan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu reformasi TNI menjadi sebuah keniscayaan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, beberapa agenda penting reformasi TNI yang perlu dituntaskan adalah: pertama, reformasi peradilan militer. Reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997 tentang peradilan militer perlu segera dilakukan mengingat hal tersebut sesungguhnya merupakan mandat TAP MPR No. VII/2000. Pasal 3 ayat 4 TAP MPR No. VII/2000 menyebutkan bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Penegasan pentingnya perubahan sistem peradilan militer juga ditegaskan dalam UU TNI No. 34 tahun 2004. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.
Upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen sebagai implementasi dari penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945. Selama ini anggota militer yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, peradilan militer tak jarang menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana.
Kedua, restrukturisasi komando teritorial. Pada masa awal Reformasi, tuntutan restrukturisasi komando teritorial merupakan satu paket dengan tuntutan penghapusan peran sosial politik TNI—yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI. Sayangnya, meski peran politik TNI dapat dihapus, struktur komanto teritorial tak kunjung direstrukturisasi hingga kini.
Pada masa Orde Baru, keberadaan koter memang sangat terkait dengan Dwifungsi ABRI. Jangkauan struktur koter dapat mendistribusikan peran politik ABRI hingga ke daerah, juga menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Koter kerap kali digunakan sebagai instrumen merepresi masyarakat yang menentang rezim Orde Baru mengingat hierarki koter yang menyerupai struktur pemerintahan sipil di daerah (Kodam, Korem, Kodim, Koramil).
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya mensyaratkan kepada otoritas politik untuk melakukan restrukturisasi koter. Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU TNI menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan sipil.
Ketiga, landasan hukum operasi militer selain perang (OMSP). Belakangan ini MoU TNI dengan Kementerian dan instansi lainnya semakin marak. Setidaknya terdapat 31 MoU TNI dengan berbagai instansi/ lembaga. Dengan dalih melakukan operasi militer selain perang (OMSP), TNI kini mulai masuk dan terlibat dalam ranah sipil dan menjalankan fungsi keamanan dengan pijakan MoU tersebut. Sayangnya, otoritas sipil baik itu pemerintah dan parlemen tidak melakukan koreksi dan evaluasi terhadap semua MoU yang ada.
Kami menilai pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang di dasarkan pada MoU TNI bertentangan dengan UU TNI no 34/2004. Pasal 7 ayat 3 UU TNI secara tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas operasi militer selain perang harus di dasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara dan bukan melalui MoU.
Keputusan politik negara yang dimaksud adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dewan perwakilan rakyat (DPR) yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dengan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 5 UU TNI). Dengan demikian, beberapa MoU yang sudah dibuat jelas-jelas bertentangan dengan UU TNI no 34/2004.
Dengan dibentuknya berbagai MoU yang berlebihan itu maka kini TNI sudah kembali masuk dalam ranah wilayah sipil dan terlibat langsung dalam menjaga keamanan dalam negeri. Dalam beberapa kasus, TNI sudah kembali terlibat dalam aksi penggusuran, pengamanan stasiun, pengamanan kawasan industri, terlibat dalam konflik agraria dan kasus-kasus lainnya. Atas dasar MoU TNI dan Kementrian Pertanian misalnya, proyek cetak sawah yang menghabiskan anggaran APBN triliunan rupiah bermasalah dan rentan terjadi intimidasi terhadap petani sebagaimana dilaporkan oleh Ombudsman RI.
Dalam kaitannya dengan tugas perbantuan militer dalam operasi militer selain perang seharunya pemerintah dan DPR perlu segera membuat undang-undang tentang tugas perbantuan militer bukan membiarkan Panglima TNI dan kementerian serta instansi lain membentuk berbagai macam MoU. Hal ini sesuai dengan mandat UU TNI Pasal 7 ayat 2 (10); TAP MPR pasal 4 ayat 2; dan UU Polri Pasal 41. Ketiga regulasi tersebut mengamanatkan agar pemerintah membuat aturan tentang tugas perbantuan militer dalam kerangka OMSP pada tingkat UU ataupun PP.
Keempat, adanya rancangan regulasi yang menghambat reformasi militer (TNI). Di dalam Prolegnas 2015-2019 terdapat beberapa rancangan regulasi yang dapat menghambat proses refomasi militer, seperti RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas. Padahal, kedua RUU itu pernah ditolak oleh masyarakat pada periode pemerintahan yang lalu karena dinilai akan mengancam kehidupan demokrasi dan pemajuan HAM.
Secara urgensi, RUU Rahasia negara tidak dibutuhkan karena pengaturan tentang rahasia negara secara eksplisit telah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 khususnya Pasal 17 mengenai informasi yang dikecualikan. Secara substantif, ruang lingkup yang diatur dalam RUU Rahasia negara sangat luas dan bersifat karet sehingga berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi khususnya kebebasan pers, menghambat pemberantasan korupsi dan menghambat penegakkan HAM.
Sedangkan RUU Kamnas, secara substansi akan mengancam kehidupan demokrasi dan pemajuan HAM. Persepsi ancaman keamanan nasional dalam RUU Kamnas masih mengidentifikasi warganegara yang kritis terhadap kekuasaan sebagai ancaman keamanan nasional. Hal ini tentu akan menempatkan tata sistem keamanan seperti pada masa orde baru dimana warga negara selalu dianggap sebagai ancaman bagi rezim pemerintahan yang berkuasa sehingga kebebasan dapat dikekang dan dibungkam.
Atas dasar hal tersebut diatas, kami meminta kepada Presiden dan DPR RI untuk melanjutkan proses reformasi militer di Indonesia untuk menciptakan institusi militer yang kuat dan profesional, dengan mempertimbangkan beberapa langkah berikut:
- Melakukan agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31/1997 tentang peradilan militer dengan memasukkan agenda perubahan UU 31/1997 tentang peradilan militer ke dalam program legislasi nasional.
- Melakukan restrukturisasi Komando Teritorial sebagai evaluasi terhadap peran militer dalam masa damai. Hal ini perlu dilakukan agar peran TNI tidak tumpang tindih dengan fungsi pemerintah daerah.
- Membentuk undang-undang tentang tugas perbantuan militer dengan memasukkan agenda pembentukan RUU tugas perbantuan militer ke dalam prolegnas sebagai landasan hukum TNI dalam menjalankan fungsi Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Lebih jauh Presiden perlu menginstruksikan kepada Panglima TNI dan kementerian/ lembaga untuk evaluasi dan mencabut seluruh MoU TNI yang bertentangan dengan undang-undang.
- Menghentikan pembahasan dan pembentukan RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional di DPR.
Jakarta, 4 Oktober 2017
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
IMPARSIAL, ELSAM, KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, LBH Pers, PBHI, SETARA Institute, ICW.