Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyelenggarakan Diskusi Publik yang berjudul “Problematika Ojek Online” di Gedung LBH Jakarta (06/09). Diskusi publik diselenggarakan oleh LBH Jakarta untuk mengurai akar masalah dan memberikan solusi akibat dari adanya masalah-masalah yang timbul terkait adanya ojek online yang menjadi pro dan kontra di masyarakat. Dalam diskusi tersebut LBH Jakarta menghadirkan Azas Tigor Nainggolan, S.H., M.Si. (Forum Warga Kota Jakarta), Agus Suyanto (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Syafrin Liputo (Kepala Subdirektorat Angkutan Orang Kementrian Perhubungan), yang dimoderatori oleh Oky Wiratama Siagian, S.H. (Pengcara Publik LBH Jakarta).
Azas Tigor Nainggolan memulai diskusi publik ini dengan menjelaskan keberadaan ojek online merupakan jaring pengaman kemacetan kota dan buruknya layanan angkutan umum. Kemudian Tigor menjelaskan ojek online merupakan alternatif lapangan pekerjaan bagi orang belum bekerja dan orang yang ingin mencari upah tambahan. Namun demikian, seiring bertambahnya jumlah driver ojek online akan menimbulkan masalah jika tanpa adanya pengawasan melalui regulasi oleh pemerintah. Hal ini akan menimbulkan masalah seperti tidak disiplinnya driver, tidak layaknya kendaraan, ketidaksesuaian antara nomor kendaraan di aplikasi dengan nomor kendaraan yang menjemput konsumen, tidak ada perusahaannya dan akhirnya pengguna dirugikan tanpa adanya perlindungan hukum.
“Regulasi itu penting, agar pemerintah dapat menjamin layanan pada pengguna dan mengatur hubungan kerja antara si pemilik (pengemudi) dengan perusahaan pengelola angkutan online” ujar Tigor
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ojek online memenuhi kriteria sebagai angkutan umum. Pemerintah perlu mengatur atau meregulasi ketentuan lanjutan atau pelaksana agar dapat menata operasional ojek online, menertibkan operator angkutan umum dan untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen pengguna ojek online. Hingga kini belum ada regulasi lanjutan atau regulasi pelaksananya terkait ojek online. Regulasi pelaksana diperlukan agar negara dapat hadir untuk mengawasi, membina, serta menjamin layanan operasional layanan angkutan online yang aman, nyaman dan terjangkau.
“Regulasi pelaksana untuk pengaman seperti apa yang kita butuhkan? Yaitu regulasi harus sesuai karakter operasioal angkutan online dan sesuai kebutuhan perlindungan penggunanya, angkutan online dan ojek online” tambah Tigor
Kemudian diskusi publik dilanjutkan dengan pemaparan oleh Agus Suyatno dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang mengambil perspektif dari sisi konsumen. Agus menjelaskan bahwa driver ojek online merupakan konsumen, karena mereka memakai jasa penyedia aplikasi untuk memudahkan driver mendapatkan penumpang. Selanjutnya Agus menjelaskan bahwa ada indikasi pengalihan tanggungjawab dari penyedia aplikasi kepada driver.
“Hal ini dapat kita lihat dari term & condition saat kita mengunduh aplikasi ojek online di handphone, terdapat beberapa ketentuan yang seharusnya menjadi tanggungjawab penyedia aplikasi namun dialihkan menjadi tangggungjawab driver” Ujar Agus
Survei yang dilakukan oleh YLKI pada bulan April Tahun 2017 memberikan fakta bahwa terdapat 85% orang yang tidak membaca dan memahami “Term and condition” (syarat dan ketentuan) saat mengunduh aplikasi layanan transportasi online.
Lebih lanjut, agus menjelaskan mengenai kebijakan besaran tarif per kilometer, sistem bonus, dan kebijakan paket promosi ditentukan oleh penyedia aplikasi tanpa melibatkan sepenuhnya driver sebagai mitra. Hal ini mengakibatkan driver menjadi pihak yang tidak setara dengan penyedia aplikasi dan tidak sesuai dengan konsep kemitraan sebagaimana semestinya
“Bandingkan dengan penentuan tarif angkutan umum konvensional, pemerintah, pelaku usaha, organda dan juga konsumen dilibatkan” tambah Agus.
Agus menutup pemaparannya dengan memberikan kesimpulan bahwa hubungan kemitraan berpotensi memunculkan benturan antara driver dan perlunya adanya kejelasan tanggungjawab penyedia layanan aplikasi.
Diskusi ini dilanjutkan oleh narasumber yang terakhir yaitu Syafrin Liputo selaku Kepala Subdirektorat Angkutan Orang Kementrian Perhubungan. Syafrin menjelaskan bahwa belum ada payung hukum bagi angkutan roda dua sebagai angkutan umum.
“Sepeda motor bukan merupakan angkutan umum, bukan kategori angkutan orang dengan kendaraan umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009, untuk menjadikan angkutan motor sebagai angkutan umum, kemenhub sangat berhati-hati, karena hal ini sangat sensitif dan menyangkut hajat hidup orang banyak terutama melibatkan masyarakat golongan ekonomi lemah” Ujar Syafrin
Kemudian, Syafrin menjelaskan kini pemerintah sedang melakukan kajian dan penyusunan akademis untuk merivisi UU Nomor 22 Tahun 2009 terkait ojek online.
Pada diskusi publik ini, LBH Jakarta menghadirkan para driver ojek online dari berbagai latar belakang. Mereka bercerita mengenai pengalamannya sebagai driver ojek online dan menceritakan masalah-masalah yang sering mereka alami.
Dalam kesempatan diskusi kali ini, puluhan peserta hadir dan memenuhi ruang diskusi. Para peserta berasal dari berbagai kalangan, baik dari wartawan, mahasiswa, driver ojek online hingga masyarakat umum. (Andi.M.R)