Keluarga Alm. Yusli bin Durahman, korban penyiksaan disertai penembakan hingga tewas oleh polisi pada tahun 2011 menjalankan nazarnya pada hari Minggu (13/08) di Kampung Bojong Keong, Desa Mekarsari, Kecamatan Rumpin, Bogor. Nazar tersebut ditunaikan dalam bentuk syukuran setelah 3 (tiga) orang polisi yang melakukan penyiksaan hingga tewasnya Alm. Yusli divonis penjara selama 5 (lima) tahun pada Maret 2013, nazar ini sebagai bukti perjuangan keluarga korban dalam mencari keadilan.
“Hari ini nazar yang kita adakan adalah bentuk perjuangan keluarga dan juga teman-teman yang telah membantu seperti LBH Jakarta dan Kontras untuk mencari keadilan bagi almarhum adik saya Yusli terhadap tindakan kesewenang-wenangan pihak Kepolisian,” jelas Yeni selaku kakak kandung Yusli.
Yeni mengungkapkan bahwa sejak tahun 2012 perjuangan keluarga untuk mencari keadilan bagi adiknya tidaklah mudah. Yeni menuturkan, pada saat itu sesama warga desa sendiri takut menghadapi polisi dan tidak adanya bantuan dari Kepala Desa setempat. Namun ia dan keluarganya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman LBH Jakarta dan Kontras yang telah membantu dan mengawal keluarga korban untuk mencari keadilan.
Yeni juga mengatakan bahwa nazar ini juga sebenarnya mempunyai maksud lain yaitu ingin memberitahukan dan turut mengajak masyarakat desa bahwa jangan takut untuk mencari keadilan.
“Tujuan saya dan keluarga mengadakan nazar ini tidak hanya karena polisi yang menyiksa alm. Yusli telah berhasil dihukum tetapi kita juga ingin mengajak masyarakat untuk berani memperjuangkan keadilannya agar tidak lagi diam,” tambah Yeni.
Almarhum Yusli merupakan korban penyiksaan yang berujung kematian. Kejadian tersebut berawal pada dini hari 26 Desember 2011 sekitar pukul 03.00 WIB. Tiga orang berpakaian preman dan membawa senapan laras panjang datang ke rumah Yusli, menggedor-gedor pintu kemudian merangsek ke kamar Yusli. Yusli dibawa paksa dalam keadaan hanya mengenakan pakaian dalam. Durrahman selaku Ayah Yusli yang bertanya ke mana Yusli akan dibawa saat dimasukkan ke mobil tidak dipedulikan.
Yeni bersama Maria selaku istri Yusli mendatangi 7 (tujuh) polsek terdekat, dari Polsek Cisauk, Ciputat, hingga Pamulang untuk mencari Yusli. Hasilnya nihil. Pihak Polsek Cisauk membantah ada penangkapan dan senjata tergantung rapi. Sore hari itu juga sekitar pukul 17.00 WIB mereka mendapat kabar dari Kepala Desa bahwa Yusli sudah meninggal dunia di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I R Said Sukanto. Saat keluarga datang ke sana dan melihat jenazah, air mata mereka mengalir deras. Kepala Yusli masih berlumur darah, pada wajah dan dada Yusli penuh luka cakar, rahang dan tulang iga patah, tumit hingga jari-jari kaki penuh memar, dan dada kiri bolong akibat tembakan yang menembus jantung. Yeni dan Maria kemudian meminta jenazah Yusli untuk divisum.
Mereka kemudian mendapatkan informasi bahwa ternyata Yusli dibawa ke hutan areal Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan (Puspitek) di Serpong, Tangerang Selatan untuk disiksa.
“Adik saya disiksa dahulu, baru karena dirasa sudah sekarat baru ditembak,” cerita Yeni.
“Ketika kami datang ke kantor polisi untuk bertanya polisi malah menggebrak meja. Ditanya apakah ada surat penangkapan polisi diam seribu bahasa,” kenangnya.
Awalnya keluarga diminta untuk tidak menuntut dan diberikan uang sejumlah 2 juta, namun keluarga tegas menolak. Butuh 1 tahun membawa kasus tersebut ke pengadilan, dan 5 bulan proses persidangan. Langkah panjang dan melelahkan dalam mencari keadilan. Pengadilan Negeri Tangerang menghukum para pembunuh: Briptu Aan Tri Haryanto 5 tahun penjara, Briptu Hermanto dan Briptu Riki Ananta Sembiring masing-masing divonis 2 tahun penjara.
Acara yang dimulai pagi sekitar pukul 10.00 WIB dibuka dengan acara pengajian bersama yang dihadiri oleh warga desa setempat, keluarga besar korban dan juga turut hadir perwakilan LBH Jakarta serta perwakilan Kontras. (Aldo)