Aliansi Masyarakat Menolak Penggusuran Paksa yang terdiri dari berbagai LSM dan komunitas korban penggusuran mengajukan pembatalan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya karena melegalkan penggusuran paksa. Adapun alasan mengapa Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal tersebut adalah:
1. UU tidak lagi relevan dengan situasi saat ini
UU diterbitkan dalam rangka mengatasi kondisi staat van oorlog en beleg (negara dalam keadaan bahaya) akibat pemberontakan, sehingga tidak lagi sesuai dengan situasi damai saat ini.
2. UU masih mengandung semangat hukum kolonial Belanda
UU secara tidak langsung mengadopsi asas Domein Verklaring, yaitu asas hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya secara otomatis menjadi milik pemerintah (red. pemerintah kolonial Belanda pada masanya). Asas ini telah dihapus sejak diterbitkannya UU Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tahun 1960.
3. UU bertentangan dengan semangat reforma agraria
Reforma agraria yang dicanangkan dalam UU Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria meliputi pembagian tanah yang adil, tanah untuk tani, dan memperluas hak milik atas tanah masyarakat. Namun, sampai akhir tahun 2016, BPN/Kementerian Tata Ruang mengakui baru 44 persen tanah di Indonesia yang bersertifikat. Pasal penggusuran paksa justru memberikan wewenang bagi pemerintah untuk merampas tanah milik masyarakat, ketika ia seharusnya diformalkan oleh pemerintah.
4. UU membebaskan pemerintah dari kewajiban membuktikan hak atas tanah
Kewajiban pemerintah untuk turut membuktikan tanah yang diakuinya diatur dalam berbagai ketentuan hukum, antara lain UU Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU Perbendaharaan Negara. Namun, berdasarkan pasal penggusuran paksa, pemerintah dapat merampas tanah milik warga negara tanpa dibebankan kewajiban tersebut dan tanpa melalui proses sengketa pengadilan.
5. Penggusuran paksa melanggar hukum dan hak asasi manusia
Komisi HAM PBB melalui resolusi nomor 2004/28 menyatakan bahwa penggusuran paksa merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap serangkaian hak asasi manusia, terutama hak atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak. UUD 1945 mewajibkan pemerintah melindungi hak asasi setiap warga negaranya, tetapi pasal penggurusan paksa malah melegalkan pelanggaran HAM oleh negara.
6. Telah ada aturan lain yang mengatur tentang relokasi warga terdampak pembangunan
Indonesia telah memiliki UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang, meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan standar HAM, mewajibkan pemerintah untuk melaksanakan musyawarah dan memberikan ganti rugi yang layak kepada korban terdampak.
7. UU berpotensi mengkriminalisasi masyarakat tradisional yang telah menghuni tanah secara turun temurun
UU berpotensi untuk mengkriminalisasi masyarakat tradisional ataupun masyarakat adat yang telah secara turun temurun menduduki lahan huniannya selama jangka waktu lama, yaitu lebih dari 20 tahun berdasarkan berbagai ketentuan hukum.
8. UU memberikan wewenang tidak langsung bagi pemerintah untuk melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap para korban penggusuran paksa
Karena prosedur relokasi masyarakat di dalam UU tidak diatur secara ketat, maka implementasi UU tersebut di lapangan kerap berujung pada intimidasi dan kekerasan oleh pemerintah terhadap warga negara sebagaimana yang terjadi selama ini, misalnya penggusuran paksa Kampung Pulo dan Bukit Duri.
9. Penggusuran paksa bukan solusi menghentikan kemiskinan
Penelitian dari berbagai LSM dan laporan berbagai media di Indonesia menguraikan bahwa warga yang menjadi korban penggusuran paksa kerap mengalami penurunan derajat kesejahteraan hidup akibat kehilangan rumah dan pekerjaan.
Kontak:
1. Alldo Fellix Januardy (087878499399)
2. Nelson Nikodemus Simamora (081396820400)