Selasa (25/07), Marni, Ibu dari Andro Pengamen Cipulir kembali mendatangi Kementerian Keuangan untuk mempertanyakan eksekusi dari putusan pengadilan tentang ganti kerugian. Upaya ini ditempuh setelah sebelumnya disarankan oleh Ditjen Perundang-undangan Kemenkumham pada tanggal 7 Juli 2017 lalu.
Marni yang didampingi oleh LBH Jakarta kembali harus pulang dengan tangan hampa karena apa yang ia inginkan belum juga diwujudkan oleh pemerintah. Di Kemenkeu Marni ditemui oleh Biro Umum Tata Usaha Kementerian Keuangan untuk kemudian dilempar untuk menemui Biro Bantuan Hukum di Kemenkeu.
Setelah menunggu cukup lama, Marni akhirnya ditemui oleh Biro Bantuan Hukum III, Dwi Susianto Guntoro, S.H. Dalam pertemuan tersebut Marni mempertanyakan perihal perkembangan putusan pengadilan permohonan ganti rugi yang telah dikirimkan ke Kementerian Keuangan. Namun, Marni kembali mendapatkan jawaban yang tidak sesuai dengan keinginannya. Pihak Kemenkeu mengatakan belum menerima putusan pengadilan yang dimaksudkan oleh Marni.
“Putusan pengadilan belum kami terima. Dan Peraturan Menteri Keuangan yang diamanatkan oleh PP 92 Tahun 2015 masih proses pembuatan.“ kata Dwi.
Belum adanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut menyebabkan mekanisme penggantian kerugian belum bisa dipenuhi. Dwi menambahkan bahwa peraturan tersebut terkendala teknis pengajuan dan pencairan. Melalui dwi, pihak Kemenkeu pun belum dapat memastikan kapan peraturan tersebut dapat diselesaikan.
Sebelumnya, Marni melalui LBH Jakarta telah mengirim surat untuk mendorong eksekusi ganti rugi kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Kementerian Hukum dan HAM, namun selalu diarahkan pada pihak yang ditunjuk sesuai PP 92 Tahun 2015 yakni Kementerian Keuangan.
Kasus pengamen yang menjadi korban salah tangkap memang telah dinyatakan berhak atas ganti kerugian sebesar 72 juta rupiah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2016 silam. Namun pada kenyatanya eksekusi ganti rugi tersebut tidak kunjung membuahkan hasil. Hingga saat ini Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 yang menjadi dasar putusan tersebut tidak dapat dieksekusi sehingga menghalangi terwujudnya keadilan bagi korban. Hal ini berdampak pula pada korban-korban lainnya yang mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan adil (fair trial).
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 memang meningkatkan besaran ganti rugi bagi korban salah tangkap, namun pada prakteknya prosedur yang harus dilewati para korban salah tangkap untuk mendapatkan ganti kerugian tersebut tak kunjung menemui ujungngya. (Rizal)