Ratusan orang dari berbagai kalangan hadiri Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka yang pada Kamis kali ini (27/7) sudah mencapai Kamis ke-500. Dengan mengangkat tema “500 Kamis Cuma Janji Manis”, Aksi Kamisan ini kembali mempertanyakan komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Selain para tokoh seperti Franz Magnis Suseno, grup band Efek Rumah Kaca pun turut bersolidaritas pada Aksi Kamisan kali ini.
Pada sesi refleksi di Aksi Kamisan ke-500 ini, Prof. Franz Magnis Suseno menyampaikan, bahwa hal yang paling penting dan mendasar terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah jujur dan terbuka. Dalam pesannya tersebut Prof. Franz Magnis Suseno menekankan bahwa pemerintah dan masyarakat harus mengakui adanya peristiwa dan korban pelanggaran HAM. Menurutnya, tanpa pengakuan seperti itu mustahil akan adanya penyelesaian.
“Saya menghimbau kepada Pemerintah Indonesia, agar tidak usah takut untuk mengakui korban. Hanya dengan mengakui, kita bisa berdamai dengan masa lalu. Kita sama-sama menyesali peristiwa tragis tersebut, dan dengan kesungguhan hati untuk mengakui maka selanjutnya kita bisa membangun bangsa dengan lebih baik,” pesan Prof. Franz Magnis Suseno yang akrab disapa Romo Magniz.
Selain Romo Magniz, hadir pula Arfi Bambani Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada peringatan Aksi Kamisan ke-500 ini. Pada kesempatannya untuk memberikan refleksi ia menyinggung kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli), kasus yang juga banyak menimbulkan korban pelanggaran HAM ini jatuh bertepatan dengan Aksi Kamisan yang ke-500. Ia mengenang bagaiman 21 tahun yang lalu, pada tanggal 27 Juli 1996, banyak dari kawan-kawan aktivis yang mendukung Megawati beserta PDI-nya, menjadi korban kekerasan dan penghilangan paksa. Kemudian, Arfi juga memunculkan sebuah ironi saat melihat partai penguasa yang notabene adalah partai dari Megawati tak berdaya mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM 21 tahun lalu tersebut.
Lebih lanjut, Arfi Bambani menggambarkan kekuasaan sipil yang berkuasa saat ini merupakan hasil daripada reformasi yang berdarah-darah, yang bahkan korbannya masih hilang hingga saat ini. Namun pada kenyataannya, kelompok sipil yang berkuasa hari ini masih saja acuh untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM selama tahun 1996-1998.
“Impunitas dalam pelanggaran HAM yang masih berlangsung hingga saat ini, dikarenakan aparatur Negara tidak memiliki kehendak nurani. Selain itu, ia disebabkan oleh masih berlakunya eksistensi rezim Pengadilan Militer. Banyak kasus pelanggaran HAM terhadap jurnalis, mulai dari kekerasan fisik, intimidasi, hingga pelecehan seksual, tidak sampai ke pengadilan dikarenakan para pelaku seperti polisi dan militer, berlindung dibalik rezim pengadilan militer”, ungkap Arfi Bambani.
Selain para tokoh tersebut, para seniman pun turut hadir mendukung Aksi Kamisan dan ikut mendesak negara untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Beberapa yang hadir diantaranya adalah Wanggi Hoed salah satu pelaku seni gerak (pantomime) dari Bandung, Komunitas Serrum yang melakukan mural dan penampilan dari Efek Rumah Kaca. Mereka semua hadir ke Aksi Kamisan kali ini secara sukarela karena merasa terpanggil dan terpapar oleh semangat korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu yang konsisten melakukan Aksi Kamisan tersebut.
“Semoga kita semua dapat tertular dan meniru semangat keluarga korban, yang tidak pernah lelah menyuarakan aspirasinya tentang keadilan kepada pemerintah,” kata Cholil Mahmud vokalis Efek Rumah Kaca disela-sela ia memainkan musik.
Acara Aksi Kamisan ke-500 ini ditutup dengan pembacaan doa lintas iman. Doa-doa yang dipanjatkan tersebut berisikan harapan agar Bangsa Indonesia tetap kuat, damai, dan sejahtera. Terselip pula doa agar Pemerintah Indonesia, khususnya dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM sebagaimana janji-janjinta terdahulu. (Rasyid)