Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK melakukan konferensi pers guna mendesak Kepolisian RI segera menuntaskan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan, Rabu (26/07) di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta. Pasca kejadian penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Novel Baswedan, hingga kini kasus tersebut belum menemukan titik terang. Baik Mabes Polri, maupun Polda Metro Jaya, belum memberikan keterangan lebih dalam dan lebih lanjut terkait kasus ini.
“Kami sebagai sebuah Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari Pemuda Muhammadiyah, KontraS, ICW, LBH Jakarta, dan Lokataru, menganggap bahwa Kepolisian RI sangat lamban dalam mengusut kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan ini. Melihat hal ini, kami tidak bisa tinggal diam, yang untuk itu kami sudah melakukan investigasi pengumpulan data terkait kejanggalan-kejanggalan seputar pengusutan kasus,” ungkap Dahnil Anzar pada konferensi pers tersebut.
Lebih lanjut, Yati Andriyani (KontraS) mengungkapkan beberapa kejanggalan seputar pengusutan kasus, dimulai dari keterangan berbeli-belit dari Kepolisian RI seputar barang bukti sidik jari pelaku di gelas penyiraman, melepas tiga orang saksi yang diduga kuat sebagai pelaku penyiraman, ancaman terhadap Komisioner Komnas HAM terkait rencana pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), hingga adanya tim dari internal Polri yang bergerak diluar penyidikan mencari informasi terhadap saksi-saksi di lapangan.
Dalam kaitannya mengenai barang bukti gelas penyiraman, Alghiffari Aqsa (LBH Jakarta) menyayangkan sikap dan pernyataan Kepolisian RI yang tidak konsisten dan berbelit-belit.
“Merujuk pada keterangan Novel Baswedan, disebutkan bahwa dua orang pelaku yang membawa gelas penyiraman air keras, mereka tidak menggunakan sarung tangan. Dengan begitu, secara logikanya, ada sidik jari pelaku yang tertinggal pada gelas. Namun Kepolisian bilang sidik jarinya tidak ada, dan tidak cukup untuk dideteksi,” ujar Alghiffari Aqsa
Selain itu, Alghiffari Aqsa melihat bahwa dibandingkan penuntasan kasus-kasus lain yang melibatkan CCTV sebagai alat bukti, seperti kasus pencurian, perampokan, atau yang lainnya, pada kasus penyerangan kepada Novel Kepolisian RI tidak merilis rekaman CCTV tersebut. Padahal bukti rekaman CCTV sudah diamankan oleh Kepolisian seminggu pasca kejadian.
“Dalam hal tidak dirilisnya rekaman CCTV, seperti ada yang disembunyikan oleh Kepolisian RI. Seperti ada tarik ulur alat bukti dalam kasus Novel Baswedan ini. Malah justru media berita Kompas yang kemudian merilis pertama kali rekaman CCTV tersebut”, tambah Alghif.
Senada dengan apa yang diungkapkan Alghif, Haris Azhar (Lokataru) menyebutkan bahwa alat bukti kasus Novel Baswedan sebenarnya sudah cukup banyak. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah tidak adanya kehendak yang kuat dari Kepolisian RI untuk mengungkap kasus secara pasti dan cepat.
“Saya rasa alat bukti itu sudah cukup banyak, dan saya yakin petinggi Kepolisian RI mengetahui arah kesimpulan dan pelaku kasus ini kemana. Namun mereka menyembunyikan informasi tersebut, seolah tidak tahu. Saya melihat, ada upaya tarik-ulur kasus, karena di tubuh internal Kepolisian sendiri disandera oleh berbagai kelompok kepentingan”, jelas Haris Azhar.
Haris Azhar juga mengatakan bahwa intimidasi kekerasan terhadap Novel Baswedan berkemungkinan besar terkait dengan kasus-kasus korupsi yang selama ini sedang diusut oleh Novel. Haris memperkirakan adanya penghilangan barang bukti kasus korupsi selama Novel Baswedan terbaring di rumah sakit.pasca Novel diserang.
Kompleksnya kepentingan dibalik lambannya penanganan kasus oleh pihak Kepolisian RI, turut diamini oleh Alghiffari Aqsa. Selain berkorelasi dengan kasus-kasus yang terlebih dahulu ditangani Novel Baswedan, juga berpotensi terkait dengan upaya pelemahan KPK akhir-akhir ini.
“Coba dilihat, Novel Baswedan beberapa kali diintimidasi, dilaporkan, dan dikriminalisi. Dan yang terbaru, saksi kasus suap Akil Mochtar, Niko Panji Tirtayasa memberikan kesaksian dihadapan Pansus Hak Angket DPR-RI. Setelah itu, ia kemudian melaporkan Novel Baswedan ke Bareskrim Polri dengan dasar tuduhan adanya ancaman dan intimidasi selama memberikan keterangan saksi terkait kasus suap Akil Mochtar. Saya melihat, bisa saja ada kemungkinan korelasi antara kepentigan angket DPR dengan tekanan bertubi-tubi pada Novel,” imbuh Alghiffari Aqsa.
Sebagai pernyataan penutup konferensi pers, Dahnil Anzar menegaskan bahwa pengungkapan kasus Novel Baswedan adalah tugas bersama masyarakat Indonesia. Menurutnya, Bila kasus ini mandeg dan tak terungkap kebenarannya, maka hal tersebut bisa menjadi pintu awal terjegalnya wibawa, otoritas, dan keberanian aparat pemberantas korupsi di Indonesia. Untuk itu, ia berharap agar Kepolisian RI dapat segera dengan profesional mengusut kasus yang menimpa Novel Baswedan ini. [Rasyid]