Siaran Pers Bersama
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menolak Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta untuk membuat laporan polisi tentang dugaan tindak pidana tata ruang dan lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Kapuk Naga Indah dalam proses pembangunan pulau reklamasi C dan D di Teluk Jakarta hari ini (20/7). Petugas yang menjumpai Koalisi memberikan alasan yang berubah-ubah saat menolak laporan dan berakhir dengan meninggalkan Koalisi begitu saja setelah berdebat secara hukum.
Alasan penolakan tersebut menurut petugas polisi yang menjumpai Koalisi awalnya adalah karena sudah ada tindakan dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Kami menolak alasan tersebut dan kemudian petugas memberikan alasan lain bahwa sudah ada tindakan dari Kementerian Lingkungan Hidup yang memberikan sanksi administrasi, dan Bareskrim tidak mau ikut menyidik karena tumpang tindih (overlapping). Ketika Koalisi menyatakan bahwa belum ada penyidikan pidana, petugas tersebut menyuruh Koalisi untuk meminta penyidikan pidana ke Kementerian Lingkungan Hidup. Terakhir, alasan kembali berganti. Petugas yang menerima menyatakan bahwa sudah ada penyidikan tindak pidana di Kementerian Lingkungan Hidup namun petugas polisi tersebut tidak bisa menyebutkan apakah memang betul ada penyidikan di Kementerian Lingkungan Hidup. Tidak diketahui nama petugas polisi yang menerima koalisi karena yang bersangkutan tidak bersedia menyebutkan namanya.
Pada pokoknya Koalisi menolak alasan tersebut dengan alasan sanksi yang baru diberikan ke pengembang hanyalah sanksi administratif dan belum ada penyidikan sama sekali oleh pihak manapun. Koalisi juga menyampaikan Pasal 73 UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang menyatakan sanksi administrasi tidak menghapuskan sanksi pidana atas pelanggaran lingkungan hidup.
Laporan ini dilatarbelakangi atas 2 (dua) dugaan pelanggaran tindak pidana yang terjadi, yaitu: Pertama dugaan pelanggaran pidana tata ruang, melanggar ketentuan pidana tata ruang khususnya dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Aturan tersebut melarang pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang. Bangunan yang berada di Pulau C dan D belum ada yang mengaturnya sehingga dapat dikenakan Pasal 69 dan Pasal 70, sementara yang memberikan izin membangun dapat dikenakan Pasal 73 ayat (1). Kedua, dugaan pelanggaran tindak pidana lingkungan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 mengenai Pidana Izin Lingkungan. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting wajib memiliki AMDAL dan UKL-UPL. Bangunan yang berada diatas pulau tidak memiliki AMDAL dan UKL-UPL sehingga jelas melanggar Pasal 109.
Koalisi menilai selama ini belum ada penegakkan hukum terhadap pelanggaran reklamasi masih setengah hati, KLHK memang telah memberikan sanksi berupa moratorium izin lingkungan pulau C dan D namun itu masih dalam ranah hukum administrasi belum menyasar ke penegakan hukum pidana. Pasal 78 UU No. 32/2009 menyatakan bahwa penegakkan hukum administrasi tidak membebaskan pelaku terhadap tanggung jawab pidana. KSTJ berhadap kepolisian dapat melakukan penegakkan hukum pidana. Kami berhadap penegakkan hukum pidana dapat memberikan efek jera terhadap pelaku yang membangun tanpa memperhatikan lingkungan dan keberadaan nelayan.
Berdasarkkan Pasal 13 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia penyidik dilarang menolak laporan yang disampaikan oleh warga negara, kami melihat ini adalah upaya buang badan yang dilakukan oleh kepolisian yang tidak mau menangani kasus reklamasi.
Atas penolakan ini Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta akan segera melaporkan sikap penyidik Bareskrim ke Pengawasan Umum Kepolisian dan mencoba kembali melaporkan dugaan pidana reklamasi ke Bareskrim.
Jakarta, 20 Juli 2017
Hormat kami,
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta
Narahubung:
Nelson Nikodemus Simamora , LBH Jakarta (081396820400)
Marthin Hadiwinata, DPP KNTI (081286030453)
Tigor Hutapea, KIARA (081287296684)