Sidang dugaan kriminalisasi terhadap ketiga nelayan Pulau Pari kembali dilanjutkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (05/07), dengan agenda putusan sela. Dalam persidangan tersebut, Majelis Hakim juga menolak penangguhan penahanan terhadap ketiga nelayan Pulau Pari. Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim memutuskan untuk tetap melanjutkan persidangan dugaan kriminalisasi terhadap ketiga nelayan Pulau Pari tersebut.
Dalam sidang yang mengagendakan putusan sela, Majelis Hakim memberikan putusan yang mengecewakan bagi ketiga nelayan Pulau Pari tersebut. Dengan demikian persidangan terhadap ketiganya akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi. Kekecewaan tersebut juga diungkapkan oleh kuasa hukum ketiga nelayan tersebut, dalam putusan selanya Majelis Hakim dianggap tidak mempertimbangkan eksepsi dari kuasa hukum.
“Seharusnya hakim menyatakan surat dakwaan JPU batal, sebab JPU tidak menjelaskan dengan jelas pasal apa yang dilanggar oleh terdakwa,” kata Tigor Hutapea salah satu kuasa hukum ketiga nelayan Pulau Pari.
Kekecewaan ketiga nelayan Pulau Pari, dan kuasa hukumnya bertambah saat Majelis Hakim juga menolak permohonan penangguhan penahanan terhadap ketiga nelayan Pulau Pari tersebut. Sebagai gantinya, Majelis Hakim berjanji akan menyelesaikan perkara tersebut secepatnya. Namun, kuasa hukum ketiga nelayan Pulau Pari tersebut menganggap penolakan hakim tidak memiliki dasar hukum.
“Alasan menolak penangguhan penahanan dengan alasan agar perkara cepat diselesaikan tidak dikenal dalam hukum,” kata Tigor.
“Hakim akan kami laporkan ke KY,” tambah Tigor.
Sebelumnya, Mustaghfirin, Bahrudin, dan Mastono dipidanakan karena diduga melakukan pungutan liar (pungli) di Pantai Perawan, Pulau Pari. Ketiganya ditangkap aparat dari Polres Kepulauan Seribu karena tertangkap tangan membebankan biaya Rp. 5000 kepada para wisatawan yang hendak masuk ke Pantai Perawan. Sebelumnya, menurut Matthew Michael yang juga merupakan kuasa hukum ketiga nelayan Pulau Pari tersebut dari LBH Jakarta, Pantai Perawan merupakan area kelola bersama nelayan.
“Tidak ada pemaksaan kepada wisatawan untuk membayar, biaya Rp. 5000 tersebut dimintakan secara sukarela (boleh membayar boleh tidak) untuk kepentingan kebersihan, uang tersebut juga tidak dimiliki secara pribadi tetapi untuk kepentingan bersama seperti membayar petugas kebersihan, memasang penerangan, membangun mushola dan prasarana pendukung lainnya,” tutup Matthew.