Sebagai bagian pertanggungjawaban kepada publik, sejak hotline, dibuka Koalisi Anti Persekusi hendak menyampaikan beberapa hal, antara lain:
Estimasi Korban Perskusi
I. Jumlah korban hingga saat ini yang dihimpun dari pengaduan dan monitoring adalah:
- Kasus persekusi: 66
- Diduga kuat persekusi: 12
- Awal dari persekusi: 7
- Terimbas kasus persekusi: 2
Sejarah dan Karakter Persekusi
II. Persekusi telah terjadi sejak lama dan di Indonesia bukan suatu hal yang baru. Tercatat tahun 1965 saat orang dengan mudah dibunuh, dianiaya karena dituduh komunis tanpa proses peradilan, Petrus atau penembakan misterius di era 90-an, dukun santet tahun 1998 di Banyuwangi dan persekusi terhadap Ahmadiyah. Karaktek persekusi adalah:
1. Adanya hak dasar yang dirampas
2. Pelaku mentarget
- Orang atau orang-orang karena identitas kelompok
- Orang atau orang-orang karena identitas bersama/kolektif
- Kelompok tertentu
- Kolektivitas tertentu
3. Pentargetan tersebut didasarkan atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender atau dasar lain yang secara universal tidak dibolehkan menurut hukum internasional.
4. Tindakan yang dilakukan mulai pembunuhan, penganiayaan, hingga perbuatan tidak manusiawi yang menyebabkan penderitaan fisik maupun mental.
5. Meluas atau sistematis
6. Pelaku mengetahu bahwa tindakannya bagian dari tindakan yang diniatkan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis.
Bahaya Persekusi
III. Persekusi berbahaya tidak saja karena ia menimbulkan ketakutan untuk berpendapat secara bebas dan karenanya mengancam demokrasi, tapi lebih dari itu karena persekusi dapat menjadi konflik horizontal yang meluas dan berujung pada negara yang gagal (failed state) seperti yang telah kita saksikan pada beberapa negara di dunia. Meskipun demikian, penanganan yang salah tidak akan menyelesaikan masalah. Yang kami sebut sebagai penanganan yang salah adalah:
1. Melawan persekusi dengan persekusi
2. Mempidanakan korban persekusi. Sesuatu yang dianggap kesalahan berkata-kata cukup dibalas dengan meminta yang bersangkutan meminta maaf dan mengklarifikasi tanpa praktek penggiringan pelaku ke lokasi tertentu oleh massa. Ruang melakukan gugatan perdata sepatutnya dicoba sehingga pemidanaan dapat terjadi hanya bila terjadi siar kebencian dan selayaknya menjadi upaya terakhir (ultimum remediu). Menjadikan korban persekusi menjadi tersangka hanya memberi sinyal bahwa tindakan mereka adalah benar.
3. Membatasi kebebasan berpendapat. Pernyataan pemerintah untuk menyensor, menutup medsos ataupun panduan menangani persekusi yang mengaburkan batasan antara persekusi dengan penghinaan, pencemaran nama baik. Penghinaan terhadap Presiden, wakil presiden dan pejabat lain melalui putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015 dan putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 merupakan delik aduan sehingga baru dapat dijalankan proses hukumnya apabila yang merasa dihina tersebut mengadukan kasusnya. Putusan ini menunjukkan kritik terhadap pejabat negara termasuk Presiden dan wakilnya merupakan bagian dari bagian demokrasi yang dijamin konstitusi dimana rakyat memiliki untuk turut serta dalam pemerintahan.
4. Mempidanakan seluruh pelaku persekusi tanpa membedakan tingkat keturutsertaan mereka dalam tindakan tersebut. Mereka yang perlu ditindak adalah yang melakukan kekerasan, pengurangan kemerdekaan orang/penculikan, terutama mereka yang merancang dan menggerakkan persekusi ini.
Berdasarkan hal-hal di atas kami menyerukan agar:
I. Kepolisian fokus pada masalah persekusi yang didalamnya mungkin terdapat siar kebencian dan tidak mencampuradukkan penghinaan, pencemaran nama baik termasuk penghinaan kepada Presiden, wakil presiden dan pejabat ke dalam persekusi.
II. Pemerintah tidak melakukan pembatasan kebebasan berpendapat untuk alasan menyikapi fenomena persekusi ini.
III. Negara dalam hal ini Komnas HAM serta Kepolisian melakukan investigasi serius atas persekusi yang terjadi dan mengungkapkan fakta serta aktor di balik persekusi ini.
IV. Masyarakat untuk tidak melakukan persekusi atau membalas persekusi dengan persekusi lainnya. Konflik horizontal hanya akan memecah bangsa dan menimbulkan korban dari semua pihak.
Jakarta, 7 Juni 2017
Koalisi Anti Persekusi