Rilis Media
No. 690/SK-RILIS/V/2017
Diduga Terjadi Penyiksaan, Korban Gugat Polda Metro Jaya Tempuh Praperadilan
Herianto, Aris dan Bihin adalah warga kelahiran Palembang yang merantau dan berharap mengubah nasib dengan tinggal di ibukota. Rupanya nasib baik belum berpihak pada mereka. 7 April 2017 merupakan hari yang tidak dapat dilupakan bagi Herianto, Aris dan Bihin. Mereka ditangkap tanpa prosedur yang tepat oleh anggota POLDA Metro Jaya atas dugaan pencurian motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP yang terjadi pada bulan Juni 2016. Setelah ditangkap, rumah mereka digeledah dan barang-barang mereka disita secara tidak sah dan kemudian mereka ditahan tanpa ada pemberitahuan kepada keluarga mereka. Parahnya, selama proses tersebut Herianto, Aris dan Bihin disiksa secara tidak manusiawi.
Awalnya, pada malam tanggal 7 April 2017 tersebut, Aris dan Bihin sedang mengambil uang di ATM salah satu toko swalayan di Tangerang, tiba-tiba mereka dihadang oleh beberapa orang yang mengenakan baju preman dan mengaku sebagai polisi. Ketika itu, menurut Aris, ia dituduh melakukan perbuatan pecah kaca dan pencurian telepon genggam. Seketika itu pula, polisi menyita telepon genggam milik Aris dan memeriksa motor milik Bihin. Saat diperiksa, nomor rangka STNK tidak sesuai dengan motor tersebut. Akhirnya keduanya dibawa kedalam mobil dan meminta diarahkan menuju kontrakan mereka yang bersebelahan. Setibanya di kontrakan, Aris dan Bihin tetap di dalam mobil dan polisi melakukan penggeledahan ke kontrakan Aris dan Bihin tanpa adanya surat perintah yang sah. Pada saat itu, Herianto yang tinggal bersama dengan Bihin di dalam kontrakan tersebut melihat langsung penggeledahan tersebut dan kemudian ia juga ikut dibawa oleh polisi bersama Aris dan Bihin. Di dalam mobil, polisi langsung meminta semua telepon genggam dan dompet yang dimiliki oleh Herianto, Aris dan Bihin.
Di perjalanan, mereka ditutup matanya oleh lakban lalu dibawa ke tempat yang tidak diketahui mereka. Herianto dan Aris dipaksa untuk mengakui bahwa mereka melakukan pencurian motor pada bulan Juni 2016 sedangkan Bihin dipaksa mengaku sebagai penadah motor tersebut. Ketiganya tidak mengakui tindakannya, namun untuk mendapatkan pengakuan, polisi melakukan serangkaian tindakan yang tidak manusiawi. Akhirnya ketiganya dibawa ke Polda Metro Jaya. Selama beberapa hari, Herianto, Aris dan Bihin disiksa untuk mengaku bahwa mereka adalah pencuri dan penadah motor. Mereka dipukul, ditendang, diserang kepalanya dengan menggunakan gagang pistol, disetrum di bagian kemaluan, diludahi, dipaksa menjilat ludah, kemaluannya dioleskan balsem, mulutnya dioleskan balsem, kesemuanya untuk mendapatkan pengakuan. Tidak sanggup lagi menahan siksaan, ketiganya mengakui tindakan sebagaimana dituduhkan kepada mereka.
Praktik penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan dan dijadikan alat bukti terus terjadi. Pada tahun 2008, LBH Jakarta menemukan 83, 65% orang yang pernah diperiksa di kepolisian mengaku mengalami penyiksaan. Angka ini bertambah sejak tahun 2005 yaitu 81,1%. Diketahu juga bahwa 77% penyiksaan dilakukan untuk memperoleh pengakuan dan mendapat informasi. Tahun 2012, LBH Jakarta mengeluarkan Indeks Persepsi Penyiksaan yang hasilnya menunjukkan bahwa memang aparat kepolisian secara konsisten menjadi pelaku penyiksaan pada proses penangkapan, pemeriksaan, maupun penahanan.[1] Dari peristiwa yang terjadi pada Herianto dkk dapat terlihat bahwa hingga hari ini terlihat tidak ada perubahan yang signifikan begitu pula dengan pola penyiksaan.
Harus diakui Pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah pengaturan yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana penyiksaan. Namun demikian, tindakan penyiksaan yang dilakukan penegak hukum, misalnya kepolisian, dapat dilaporkan sebagai perbuatan pidana yaitu menggunakan pasal-pasal terkait penganiayaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 351-357 KUHP serta Pasal 421 dan Pasal 422 KUHP. Permasalahan lanjutan, belum ada pula itikad baik dari Pemerintah dan penegak hukum untuk menghilangkan praktik tersebut dari tubuhnya sehingga hingga saat ini belum ada aparat penegak hukum yang dikenai hukuman pidana karena melakukan penyiksaan.
Selain aturan pidana, tindakan penyiksaan yang tidak manusiawi adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar yaitu hak untuk tidak disiksa yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable). Pembiaran atau toleransi atas tindakan penyiksaan sesungguhnya suatu pelanggaran terhadap Konvensi Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Konvensi Anti Penyiksaan yang juga telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Lebih lanjut, tindakan polisi dalam melakukan upaya paksa yang tidak sah yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan yang tidak sah, jelas melanggar ketentuan dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 28, dan Pasal 42 KUHAP. Atas tindakan penyiksaan dan upaya paksa serta penetapan tersangka yang tidak sah, ketiga korban dugaan penyiksaan mengajukan permohonan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dasar Pasal 77 KUHAP yang telah diperluas definisinya oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Sidang pertama akan dilaksanakan hari Senin, 29 Mei 2017 dengan agenda pembacaan permohonan praperadilan. Melalui proses ini LBH Jakarta mendesak:
- Institusi penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman tidak menolerir tindakan penyiksaan di dalam proses peradian pidana dan menindak tegas jika ditemukan anggota yang melakukannya;
- Hakim Praperadilan Perkara 56/Pid.Pra/2017/PN JKT.SEL mengadili dengan memperhatikan masalah penyiksaan yang perlu diberantas melalui berbagai sisi;
- Komisi III DPR segera mengesahkan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dapat mencegah praktik penyiksaan serta memastikan rumusan tindak pidana penyiksaan dalam RUU KUHP sesuai dengan Konvensi Anti Penyiksaan;
- Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM mendorong memberikan pemberdayaan hukum dan pemahaman tentang bantuan hukum kepada masyarakat;
Jakarta, 28 Mei 2017
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
Bunga Siagian (08567028934)
Yunita (08999000627)
[1] LBH Jakarta, Melalui Indeks Penyiksaan serta Indeks Persepsi Penyiksaan, The Partnership for Governance Reform, Jakarta, 2012, halaman 57.