Sidang lanjutan judicial review Undang-Undang PrP No. 51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, kembali digelar Mahkamah Konstitusi (16/5). Sidang dengan nomor perkara 96/PUU-XIV/2016 dilanjutkan dengan agenda mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ahli Presiden, dan Pihak Terkait. Daniel Setiadi, Sandyawan Sumardi, dan Azaz Tigor Nainggolan mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam sidang ini.
Pada sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, menghadirkan masyarakat korban penggusuran paksa sebagai pihak terkait. Daniel Setiadi warga Kebun Sayur Ciracas dan Sandyawan Sumardi dari Bukit Duri hadir sebagai perwakilan masyarakat yang menjadi korban penggusuran paksa. Selain itu, hadir pula Azaz Tigor Nainggolan dari Forum Masyarakat Kota Jakarta (Fakta). Sementara pemerintah menghadirkan satu orang ahli sedangkan DPR pada persidangan kali ini tidak hadir.
Seluruh pihak terkait dalam persidangan kali ini meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 UU a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Mereka menganggap UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berbagai argumentasi disampaikan masing-masing pihak terkait untuk mendukung permohonan mereka agar pasal-pasal dalam UU a quo dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“UU Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya masih menganut asas kolonial domein verklaring, yaitu setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai milik negara. Padahal asas tersebut telah dihapus sejak terbitnya UU No 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mewajibkan bahwa pemerintah harus mendaftarkan aset-asetnya berupa tanah untuk mendapatkan serifikat,” ujar Nina Zainab, kuasa hukum Fakta (Pihak Terkait I).
Ibu Ratnawati dkk selaku korban penggusuran melalui kuasa hukumnya Andi Komara juga menyatakan bahwa pasal-pasal dalam UU Prp 51 Tahun 1960 harus dibatalkan salah satunya adalah Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang sering dijadikan dasar untuk melakukan penggusuran paksa.
“Undang-Undang No 51 Tahun 1960 tidak memuat pengaturan secara jelas dalam pelaksanaan pengosongan pemakaian tanah tanpa izin. Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ini berkembang menjadi ketentuan yang melegitimasi Pemerintah untuk melakukan penggusuran paksa tanpa melakukan musyawarah dan tanpa melalui putusan pengadilan,” ujar Andi Komara, kuasa hukum Ibu Ratnawati dkk (Pihak Terkait II).
Sandyawan Sumardi yang dikenal sebagai aktivis yang membantu korban-korban penggusuran juga ikut menyampaikan keterangannya sebagai pihak terkait III. Sandyawan pada persidangan kali ini hadir sebagai seorang korban penggusuran paksa. Dalam keterangannya, Sandyawan menyatakan bahwa UU ini sudah tidak relevan lagi untuk digunakan saat ini karena UU ini dibentuk ketika negara dalam keadaan bahaya sedangkan saat ini negara sudah tidak lagi dalam keadaan bahaya sehingga harus segera dicabut karena rentan untuk disalahgunakan oleh penguasa dalam melakukan penggusuran paksa.
“Bahwa UU No 51 Tahun 1960 ditetapkan ketika negara dalam keadaan bahaya. Berdasarkan Perpu No 23 tahun 1959 yang dimaksud keadaan bahaya adalah darurat sipil, darurat militer dan keadaan perang. Namun, kondisi bangsa Indonesia saat ini dalam keadaan aman terkendali, tidak ada ancaman serius yang dapat membahayakan sistem ketatanegaraan Indonesia. Melihat bahwa pada kondisi bangsa Indonesia dalam tahap pembangunan menuju negara maju, maka penerapan UU No 51 Tahun 1960 menjadi tidak relevan lagi,” terangnya dihadapan Majelis Hakim MK.
Sementara pihak pemerintah pada persiangan kali ini menghadirkan Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada, Prof Nurhasan Ismail. Dalam keterangannya, ahli dari pemerintah menyatakan bahwa UU No 51 PrP Tahun 1960 masih relevan digunakan pada masa kini karena menurut pengamatan ahli tindakan pendudukan, tindakan pemakaian-pemakaian tanah itu masih berlangsung hingga saat ini.
“Saya ingin mengungkapkan bahwa pertama, undang-undang ini masih diperlukan untuk memberikan perlindungan atau dukungan perlindungan terhadap hak-hak atau kepentingan perseorangan atau badan hukum pemegang hak atas tanah yang tidak menelantarkan tanah dari tindakan pemakaian-pemakaian tanah tanpa izin pemegang haknya,” ujar Prof Nurhasan.
Lebih lanjut, ahli menjelaskan bahwa mekanisme penyelesaian dalam UU PrP Tahun 1960 adalah melalui musyawarah. Walaupun dalam praktiknya musyawarah sulit diterapkan itu bukanhlan permasalahan konstitusionalitas norma melainkan permasalahan implementasi norma. Selain itu ahli juga menjelaskan bahwa pemerintah harus menyediakan tanah bagi pemakai tanah tanpa izin yang benar-benar butuh tanah.
“Bagi pemakai tanah tanpa izin yang benar-benar butuh tanah karena memang mereka tidak mempunyai tanah sebagai tempat tinggal maka pemerintah harus menyediakan tanah dan/atau rumah sebgai tempat tinggal mereka karena itu adalah bentuk tanggung jawab konstitusional negara cq pemerintah,” pungkas Prof Nurhasan.
Sementara itu, Alldo Fellix Januardy, selaku kuasa hukum pemohon menyatakan bahwa apa yang disampaikan pihak terkait dalam persidangan kali ini sangat mendukung permohonan judicial review yang pemohon ajukan.
“Undang-Undang ini melanggar hak konstitusional korban penggusuran karena memberikan wewenang kepada pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri pada saat melakukan penggusuran, yaitu adanya klaim sepihak tanpa adanya pembuktian sertifikat dan proses musyawarah, kekerasan, hingga penggunaan aparat yang tidak berwenang, seperti TNI,” ujar Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBH Jakarta.
Sebelumnya, LBH Jakarta selaku kuasa hukum warga Papanggo dan Duri Kepa mengajukan pembatalan terhadap Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Pasal-Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Pasal-pasal di atas mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Hak tersebut, antara lain hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan harta benda, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan dari anak-anak warga yang terpaksa putus sekolah akibat berlangsungnya penggusuran paksa di rumah mereka. Ini tentu sama sekali tidak manusiaw,i” tambah Matthew Michele Lenggu, Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Kami berharap agar Mahkamah Konstitusi dapat bersikap arif dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat korban penggusuran selaku pihak terkait dalam persidangan ini yang terlanggar hak konstitusionalnya oleh negara dengan membatalkan Undang-Undang ini.” tutup Nelson Nikodemus Simamora, Kepala Bidang Advokasi Perkotaan Masyarakat Urban LBH Jakarta.
Sidang selanjutnya akan diadakan pada 6 Juni 2017, pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, dua ahli dari Pemerintah, dua ahli dari Pihak Terkait I. (MAH)