oleh: Bramantya Basuki
Begitu gaduhnya pemilihan umum kepala daerah DKI Jakarta 2017 seharusnya bisa dianggap positif sebagai tanda dinamisnya demokrasi di Indonesia. Namun sayangnya, sumber keributan tersebut kebanyakan berkutat pada politik identitas dalam bentuk penggunaan sentimen agama, ras, dan pruralisme semu. Bahkan strategi kampanye menjijikan seperti intimidasi, pelabelan sosial, dan politik uang seolah diterima begitu saja tanpa melihat eksesnya untuk kehidupan sosial dan demokrasi di masa depan. Wacana kritis soal kepentingan publik yang seharusnya mendominasi perdebatan kampanye malah tenggelam akibat tajamnya persaingan menggaet suara tersebut.
Namun menyajikan suara kritis di tengah kalutnya politik elektoral tersebut juga bukan perkara mudah. Baru-baru ini LBH Jakarta mengeluarkan hasil kajiannya tentang penggusuran di Jakarta, rekam Jejak para calon kepala daerah, dan siaran pers mereka tentang kasus penodaan agama yang dialami salah satu calon. Kesemua disampaikan 3 hari berturut turut dari tangal 13 April 2017 atau enam hari sebelum pemungutan suara. Yang menarik untuk diamati adalah bagaimana wacana kritis ini digunakan oleh masing-masing pendukung calon untuk kepentingan mereka sendiri sekaligus menuduh keberpihakan lembaga itu pada calon lawannya.
Hal yang menyebabkan sikap ambigu ini tak lain karena isi dari kajian tersebut menyerang sekaligus menguntungkan salah satu calon. Setelah putaran I usai dan mengeliminasi pasangan Agus Harimurti-Sylviana Murni, otomatis pertandingan mengerucut pada dua pasangan yang dianggap mempunyai basis dukungan dan karakteristik yang berbeda. Di satu sisi adalah pasangan petahana Basuki Tjahja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang mengajukan pembangunan infrastruktur di Jakarta sebagai iklan politik mereka. Setelah lelah dengan segala macam problem kemacetan, banjir, minimnya ruang publik dan sistem transportasi yang buruk, pembangunan infrastruktur memang seakan menjadi bukti nyata pembenahan kota. Namun pasangan yang dianggap cukup populer di kalangan kelas menengah atas itu dianggap bercela dalam melakukan penggusuran serampangan dalam mengejar pembangunan kota tersebut. Hal inilah yang yang tertuang dalam laporan LBH Jakarta soal penggusuran dan dianggap sebagai kampanye negatif dan bersifat “politis” untuk pasangan no urut 2 itu.
Di lain sisi pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memanfaatkan laporan tersebut sebagai kritik atas petahana yang dianggap pro pengembang besar dan memarjinalkan mereka yang miskin. Meski menyinggung isu penggusuran, pasangan penantang ini lebih kentara mendulang dukungan dengan memanfaatkan sentimen agama. Dukungan pada calon nomor urut 3 ini meroket dengan “menunggang angin” politik identitas yang menguat setelah dugaan penistaan Islam oleh Basuki pada September 2016. Peradilan penistanaan agama ini pula yang direspon oleh LBH Jakarta dalam rilis medianya yang menegaskan bahwa pernyataan Basuki tidak masuk dalam tafsir agama dan ia menjadi korban penggunaan pasal anti-demokrasi.
Kemudian situasi menjadi menarik saat rilis media tersebut menjadi viral pada mereka yang mendukung Basuki Tjahja Purnama. Berbagai tuduhan bahwa LBH Jakarta memihak pada pasangan lawan seolah tak bergema lagi. Jelas situasi ini membuktikan wacana kritis yang dikeluarkan oleh suatu lembaga apapun dalam konteks pemilihan umum akan dipakai untuk kepentingan mendulang suara semata. Bahkan kita bisa melakukan tes kecil pada media-media mainstream mana yang jelas mendukung salah satu calon dengan pilihan berita atas beberapa publikasi dari LBH ini.
Hal yang paling penting untuk diamati dari situasi ini adalah betapa sulit untuk dapat berposisi kritis di situasi demokrasi kini. Niat untuk memberikan kontribusi pemikiran kritis dan dorongan perbaikan pada para calon dianggap tak penting dibanding urusan pengerahan massa atau modal. Salah satu hal yang membuat wacana kritis ini mudah terabaikan adalah dihadapkannya dorongan normatif itu pada pilihan praktis. Dalam penjabaran rekam jejak para calon, misal, meski telah dipaparkan kelebihan dan kekurangan masing-masing calon, warga tetap dihadapkan pada pertanyaan praktis: lalu sebaiknya pilih siapa? Hal ini memang tidak dapat dijawab oleh pers atau lembaga bantuan hukum yang sepantasnya tidak memihak. Tapi tak jarang wacana ini akan kembali tenggelam ketika terjadi “operasi lapangan” entah itu dalam bentuk bagi-bagi uang, sembako, hingga intimidasi.
Problem tersebut menyadarkan kita bahwa tantangan terbesar wacana kritis yang sedang dibangun terletak pada sistem dan kultur politik oligarkis saat ini. Betapa lemahnya wacana kritis itu di arena politik elektoral yangsarat dengan politik ulang, politik tontonan, dan politik identitas.Situasi demikian sengaja dipelihara oleh para oligark karena menguntungkan mereka, dan wacana kritis itu bak “peluru perak” bagi kekuasaan ekonomi-politik mereka. Apalagi partai politik yang seharusnya paling depan melakukan pendidikan politik serta menyebarluaskan wacana kritis untuk kepentingan publik jelas sudah tumpul. Bahkan hampir pasti siapapun yang maju gelanggang pemilihan umum harus melakukan konsolidasi dengan para oligark untuk memenangi dan mengamankan jabatannya.
Ini pula yang membuat begitu sulit menjatuhkan pilihan pada salah satu calon pada pilkada Jakarta kali ini. Pada kedua kandidat dukungan para oligark begitu kentara. Jika pada masa awal kampanye terdapat pembedaan pertarungan kepentingan para pemodal versus kepentingan sentimen agama, namun hal ini tak lagi berlaku. Rilis rekam jejak LBH dan laporan Tempo memperlihatkan bahwa keduanya didukung oleh kepentingan pemodal dan sama-sama menggunakan sentimen agama. Lalu apa yang harus dilakukan ketika mendapati siapapun yang menang akan kembali business as usual?
Fokus utama harus tetap pada masa depan, terutama sesudah hiruk pikuk pilkada selesai. Siapapun yang terpilih, segala macam tuntutan dan perjuangan untuk pemenuhan keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan tak bisa terhenti. Ekses meruncingnya ketegangan sosial akibat penggunaan politik identitas secara serampangan pun harus diperhatikan serius. Tentu semuanya ini dilakukan dalam konteks upaya terus menerus menggerus kekuatan oligarki, serta memupuk kekuatan untuk mengubah kondisi buruk demokrasi elektoral seperti saat ini tak berlansung selamanya.
Bramantya Basuki adalah seorang periset di Institute for Policy Analysis of Conflic (IPAC). Sempat bekerja di Tempo Institute dan sempat mengenyam pendidikan S2 di University of Nottinghan, UK. Salah seorang pendiri Sorge Cooperative yang berbasis di Bandung.
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.