Kalabahu 38 kembali digelar LBH Jakarta Senin (17/04) di Gedung YLBHI/LBH Jakarta. Materi Kalabahu pada kesempatan kali ini mengenai “Hak Atas Lingkungan Hidup” di sesi pertama. Pada sesi ini difasilitasi oleh Selamet Daroini, seorang peneliti dari Local Governments for Local Environmental Initiatives (ICLEI”. Sesi dibuka dengan mengemukakan pengalaman advokasi pemenuhan hak atas lingkungan hidup dari Selamet Daroni bersama LBH Jakarta yang dimulai sejak tahun 2002 silam. Dimana LBH Jakarta merupakan salah satu mitra dalam jalur advokasi litigasi, sementara WALHI merupakan mitra dalam advokasi non-litigasi, dimana kedua jalur advokasi tersebut sama pentingnya.
Gerakan hak atas lingkungan hidup mulai muncul setelah terjadi revolusi industri karena keresahan yang timbul akibat dari polusi yang marak. Setelah DUHAM, isu lingkungan hidup semakin mewacana, dan oleh karenanya mulai dilangsungkan berbagai konvensi terkait pemenuhan hak atas lingkungan hidup. Salah satu momen yang semakin mengangkat hak atas lingkungan hidup adalah konvensi di Rio de Janeiro dimana konsep pembangunan berkelanjutan diusung. Selain itu juga dibahas mengenai pemanasan global yang menjadi salah satu sumber meningkatnya pelanggaran HAM di seluruh dunia.
Fasilitator kemudian membahas perihal konservasi keanekaragaman hayati, hal tersebut disampaikan guna memahami pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup—ditinjau dari segi keanekaragaman hayati dan hubungannya dengan ketersediaan bahan baku penyokong kehidupan manusia. Mulai dari pangan, sandang, obat-obatan, dan lain sebagainya, termasuk juga ketahanan terhadap bencana alam. Di Indonesia, salah urus terhadap lingkungan hidup a quo berakibat pada ribuan bencana alam yang merugikan negara ratusan triliun rupiah.
Bencana hidrometrologi Indonesia, dipengaruhi cuaca, contoh akibatnya puting beliung, ini hampir mencapai 89% sisanya gempa dan erupsi gunung berapi. Setiap kali terjadi, maka akan melanggar hak Sipol maupun Ekosob. Di tahun 2016 saja, bencana hidrometrologi kurang lebih 350 meninggal dunia, ribuan mengungsi. Disini dapat dilihat hak-hak dasar sudah dapat dipastikan terlanggar. Adapun kelompok yang paling rentan terlanggar haknya oleh bencana adalah anak-anak dan perempuan. Perempuan ketika menghirup gas kendaraan bermotor, maka akan sangat mudah terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), demikian halnya juga dengan anak-anak. Hal ini diperburuk dengan kebijakan pembangunan tol dalam kota, dikarenakan ketika terjadi peningkatan penggunaan kendaraan pribadi, maka polusi udara meningkat.
Berkaitan dengan hal ini, Fasilitator menyambung dengan menjelaskan perihal penyebab utama dari kerusakan lingkungan hidup. “Kerusakan lingkungan hidup bukan disebabkan semata-mata oleh aktivitas manusia, melainkan utamanya disebabkan oleh kebijakan yang melegitimasi ekstraksi-ekstraksi berlebih atas sumber daya yang ada” ujar Fasilitator. Akan tetapi, meskipun hal ini nyata adanya, namun di Indonesia pemenuhan hak atas lingkungan hidup seakan belum menjadi prioritas, dengan pertimbangan bahwa Indonesia masih dikategorikan sebagai negara berkembang.
Terkait perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Fasilitator mengungkapkan bahwa tahapan yang perlu dilalui adalah: (1) inventarisasi lingkungan hidup; (2) penetapan wilayah ekoregion; (3) Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota). Dari ketiga dokumen tersebut, utamanya dokumen pada poin 3, barulah dapat ditentukan pemanfaatannya, dengan memperhatikan daya dukung yang ditentukan pada dokumen dalam poin 3.
Jika berbicara terkait kasus Kendeng maupun Giant Sea Wall, sejatinya dokumen KLHS saja tidak cukup dijadikan dasar untuk menentukan kelanjutan masing-masing proyek tersebut. Hal ini dikarenakan seharusnya dokumen KLHS didahului oleh RPPLH yang cakupannya lebih makro. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa proyek-proyek bersangkutan hanya mendasari pembangunan berdasarkan dokumen AMDAL. Faktanya, pembangunan selama ini hanya mengacu pada RPJMP yang disusun oleh BAPPENAS, dan jarang sekali memperhatikan mengenai keberadaan KLHS, terlebih RPPLH.
Salah seorang peserta kemudian mengajukan pertanyaan terkait solusi apa yang seharusnya diajukan terkait pembangunan Giant Sea Wall yang memang sudah berjalan. Fasilitator mengatakan bahwa dahulu terdapat program perihal bagaimana caranya mengintegrasikan daya dukung lingkungan hidup Jakarta dengan daerah penyangganya. “pilihan paling memungkinkan untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta adalah meningkatkan daya dukung lingkungan hidup di daerah penyangga DKI Jakarta, dan menanam Mangrove di Teluk DKI Jakarta” ujar Fasilitator.
Aldo, salah seorang peserta Kalabahu 38 kemudian mengajukan pertanyaan perihal mengapa selama ini tidak pernah terdengar ada pejabat yang dijatuhi hukuman penjara atas penerbitan izin lingkungan tanpa dilengkapi AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 UU PPLH. “Peraturan yang ada seakan memberikan dua jalur, yakni administrasi dan pidana, nah, untuk yang pidana ini saya ga pernah dengar pernah diterapkan, dan menurut Fasilitator yang mana yang seharusnya diterapkan?” lanjut Aldo.
Terhadap pertanyaan tersebut, Fasilitator menjawab bahwasanya kedua jalur tersebut dapat ditempuh, yakni baik pidana maupun jalur tata usaha negara, akan tetapi penting untuk mempertimbangkan perihal kelengkapan dokumen pada saat pelaporan pidana dijalankan. Mengingat terbatasnya informasi dan/atau dokumen yang biasanya dimiliki oleh publik, maka akan lebih strategis ketika jalur gugatan melalui PTUN dijalankan terlebih dahulu, dimana prosedurnya akan juga memberikan beban pembuktian pada Pemerintah.
Sebagai penutup, Fasilitator menekankan bahwa hak atas lingkungan hidup tidaklah dapat diragukan lagi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Oleh karenanya, Fasilitator menegaskan bahwa negara wajib untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas lingkungan hidup bagi rakyatnya. (Khosyi)