Siaran Pers
Nyaris 20 tahun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, namun praktik penyiksaan masih terus terjadi. Tentunya kita tidak lupa dengan kisah Andro dan Nurdin pengamen Cipulir yang bebas dari tuduhan pembunuhan. Setelah itu, Dedi seorang tukang ojek, yang bebas dari tuduhan pembunuhan, juga menjadi korban salah tangkap bahkan hingga anaknya meninggal saat ia dalam tahanan. Belum lagi kasus Ismail, yang dituduh melakukan pencurian di ATM. Jika ditelusuri ketiga korban salah tangkap tersebut mempunyai kesamaan permasalahan awal: bukti didapat dari hasil Penyiksaan. Pada tahun 2015, LBH Jakarta menerima pengaduan atas 13 kasus individu dan 5 kasus kelompok terkait penyiksaan.
Siapapun pun akan berusaha untuk menghindari menanggung sakit dipukul, disetrum, ditenggelamkan, ditendang, atau ditembak. Jika itu terjadi pada dirinya, apapun akan dilakukan untuk menghindarinya, termasuk memberikan pengakuan hal yang tidak dilakukannya. Kali ini, tragedi itu kembali terjadi pada Asep Sunandar bin Sobri, pemuda asal Serang, yang bekerja di Jakarta sebagai tukang potong kain di sebuah konveksi. Ia dituduh melakukan pencurian dengan kekerasan yang terjadi pada 11 Agustus 2016 di Tamansari, Jakarta Barat.
Asep ditangkap pada tanggal 13 Agustus 2016 dini hari pukul 03.00. Saat itu, ia sedang tidur bersama ketiga temannya di kontrakan sekitar Kebon Sayur, Jakarta Barat. Tiba-tiba sekelompok orang, yang selanjutnya diketahui adalah polisi, masuk ke dalam kamarnya dan mencari Asep. Seseorang yang dikenal Asep ada bersama yaitu Masrudin alias Adit. Adit selanjutnya menunjuk ke arah Asep. Lalu polisi tersebut memukul Asep dan menutup matanya, lalu membawanya. Tiga teman Asep yang bernama Husni, Dicky dan Amrul pun dipukul serta dibawa oleh polisi tersebut. Mereka berempat dibawa ke dalam sebuah mobil.
Asep yang tidak dapat melihat tersebut dipukul, disetrum bahkan diancam akan dibor saat di dalam mobil. Beberapa polisi menanyakan tentang hal-hal terkait tindakan perampokan, motor, alat, dan sebagainya. Namun Asep tidak mengerti sama sekali. Saat di mobil Asep juga sempat kehausan dan meminta minum. Salah seorang polisi menyuruh Asep membuka mulut. Alih-alih memberikan air minum, polisi itu malah meludahi mulut Asep.
Selanjutnya Asep dibawa ke tempat yang tidak dikenalnya. Disitu ia kembali disiksa dengan cara dipukul dan disuruh untuk mengakui bahwa dirinya adalah pelaku perampokan di Tamansari bersama dengan Adit. Adit pun mengatakan “udah sep ngaku aja, daripada abis badan.” Akhirnya, karena tidak kuat menahan siksaan, Asep pun mengaku. Ia kemudian dibawa ke tempat lainnya. Saat sedang digiring ia mendengar sebuah tembakan. Tidak lama setelah itu, badannya dan kakinya dipukul hingga lutut Asep terjatuh ke tanah. Kaki Asep dipegang oleh Polisi dan ditembak pada bagian betis tanpa alasan apapun.
Setelah penembakan, Asep dibawa kembali ke dalam mobil dan ikatan matanya dibuka. Saat itu, ia bingung karena melihat seseorang yang tidak dikenalnya juga sudah mengalami luka tembak. Setelah berbincang, Asep pun sadar bahwa ia juga menjadi korban salah tangkap seperti dirinya. Ia adalah Muhammad Enis. Setelah itu keduanya dibawa ke sebuah klinik untuk diobati kakinya lalu dibawa ke Polsek Tamansari untuk dituangkan keterangan ke dalam BAP.
Tindakan-tindakan yang dilakukan anggota kepolisian yang menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan atau bukti ialah bentuk penyiksaan. Penyiksaan ini terjadi secara laten dan sistematik, dan dibiarkan saja oleh Negara. Inilah akhirnya penyiksaan menjadi suatu budaya buruk. Budaya butuk ini semestinya harus diputuskan dan dicegah terjadi, salah satunya dengan penegakan hukum bagi pelaku penyiksaan.
Sesungguhnya ketentuan tentang penyiksaan sudah diakomodir dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita yang telah disahkan pada tahun 1981, yaitu Pasal 422 KUHP yang mengatur bahwa “Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana mengunakan sarana paksa, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan penjara paling lama empat tahun.” Selain pidana, anggota kepolisian pelaku penyiksaan juga melanggar ketentuan dalam peraturan internal dan etik yang tertuang dalam Pasal 14 huruf c, d, e, f Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 15 Konvensi Anti Penyiksaan juga mengatur bahwa bukti yang diperoleh dari hasil penyiksaan semestinya tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Terkait penyiksaan yang dialami Asep, Ibu Sonah (ibunda Asep) tidak terima karena anaknya diperlakukan tidak adil. “Saya mau ketemu anak saya dan liat luka tembaknya saja tidak diperbolehkan. Padahal saya mau obati anak saya,” begitu curahan hati Ibu Sonah kepada LBH Jakarta, kuasa hukum Asep. Didampingi LBH Jakarta Ibu Sonah selanjutnya melaporkan perkara penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh Kepolsian Taman Sari tersebut ke Bareskrim Mabes POLRI pada tanggal 16 Maret 2017 lalu. Selain itu, Ibu Sonah juga melaporkan ke Propam Mabes POLRI pada tanggal 17 Maret 2017. Keduanya menjanjikan akan menelusuri kasus tersebut.
Sebelumnya, pada tanggal 15 Maret 2017, Ibu Sonah juga sempat ke Kompolnas untuk mengadukan upaya pelaporannya yang ditolak oleh Polda Metro Jaya. Ibu Sonah dan LBH Jakarta pada tanggl 14 Maret 2017 berusaha melaporkan tindakan penyiksaan tersebut ke Polda Metro Jaya, bagian Sentra Pelayanan Terpadu, namun malahan diusir. Kompolnas menyatakan bahwa semestinya anggota Polisi tidak boleh menolak laporan atau pengaduan masyarakat. Ini merupakan pelanggaran prosedur, termasuk pelanggaran etik.
Meskipun diatur jelas dalam aturan, pada praktiknya hampir tidak ada pelaku penyiksaan yang diproses dan ditindak secara hukum. Hal ini menunjukkan memang tidak adanya keinginan politik untuk menghilangkan budaya buruk yang melanggar hak asasi manusia paling dasar, yaitu untuk tidak disiksa. Ketentuan-ketentuan tersebut menjadi ompong tanpa ada itikad baik pemerintah untuk memproses hukum pelaku penyiksaan.
Berdasarkan hal diatas, keluarga korban Asep Sunandar dan LBH Jakarta mendesak untuk:
Pertama, Majelis Hakim Perkara Asep Sunandar tidak menutup mata pada proses penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian dan menyatakan tidak sah bukti yang diperoleh dari hasil penyiksaan tersebut;
Kedua, Bareskrim Mabes POLRI segera menindaklanjuti laporan tindak pidana yang ditujukan pada beberapa anggota yang salah seorangnya berdasarkan keterangan Asep ialah Kasubnit IV Buser Reskrim Polsek Taman Sari Polres Metro Jakarta Barat AKP Bambang;
Ketiga, Propam Mabes POLRI menindaklanjuti pengaduan dan memproses dan memberikan hukuman bagi pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin dan etik;
Keempat, Presiden dan DPR RI untuk menghilangkan budaya buruk penyiksaan dengan memberikan perhatian serius untuk pencegahan dan penindakan penyiksaan dalam proses peradilan;
Kelima, DPR RI untuk memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk upaya pencegahan penyiksaan;
Jakarta, 18 Maret 2017
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
Arif Maulana (0817256167)
Bunga Siagian (0856 702 8934)