Pertanyaan:
Saya ibu rumah tangga dengan tiga anak. Saya telah menikah selama 16 tahun dengan hanya mempunyai surat akta pemberkatan dari gereja. Sekarang saya ingin berpisah dengan suami karena hampir setiap hari kami bertengkar. Suami saya penjudi kelas berat. Dia tidak mau berusaha untuk mencari pekerjaan secara halal. Kami sudah tidak punya harta lagi, sertifikat rumah sudah dipegang orang, utang suami saya banyak. Kami kesulitan membiayai sekolah anak dan kebutuhan rumah tangga. Apakah saya bisa mendapatkan surat cerai untuk menyatakan bahwa kami sudah berpisah secara hukum?
(Hanni, Villa Tomang baru, Tangerang)
***
Terima kasih atas pertanyaan yang Ibu ajukan. Kami ikut bersimpati atas permasalahan yang dihadapi. Inti permasalahan Ibu terkait dapat atau tidaknya diterbitkan surat perceraian yang diakui secara hukum terhadap perkawinan siri.
Secara umum perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan hanya dilakukan berdasarkan ketentuan hukum agama dan tidak dicatatkan atas ketentuan hukum negara. Karena itu, perkawinan siri sah secara agama, namun belum sah secara hukum negara. Menurut pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), syarat sahnya suatu perkawinan selain dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, juga harus dicatatkan menurut perundang-udangan yang berlaku. Perkawinan bagi muslim harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan non-muslim di Dinas Pencatatan sipil. Perkawinan yang tidak dicatatkan, tidak mempunyai kekuatan hukum dihadapan Negara dan tidak memiliki surat bukti nikah yang otentik, seperti halnya pernikahan Ibu yang dibuktikan dengan surat pemberkatan dari gereja.
Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum negara terhadap hak-hak istri dan anak dari perkawinan siri. Bahkan secara hukum, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 43 ayat [1] UUP jo. pasal 100 Kompilasi Hukum Islam atau KHI). Namun, dalam perkembangannya, hak anak dari perkawinan siri telah diakui berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang diikuti dengan UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dengan catatan harus melapor pengakuan anak oleh orang tua pasangan pernikahan siri ke Pejabat Catatan Sipil.
Begitupula dalam hal perceraian terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan. Tidak ada lembaga negara yang berwenang menangani proses perceraiannya dan memberi perlindungan atas hak-hak istri dan anak sebagaimana diatur dalam UUP. Karena itu, perkawinan semestinya dilakukan secara resmi sesuai perundang-undangan yang berlaku untuk melindungi hak istri dan anak. Dalam perkawinan yang sah, jika istri hendak bercerai maka berhak mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama bagi muslim dan Pengadilan Negeri bagi yang non-muslim. Jika dikabulkan, pengadilan akan menerbitkan putusan perceraian yang berlaku sebagai akta otentik yang membuktikan hapusnya hubungan perkawinan.
Berdasarkan penjelasan di atas, Ibu tidak dapat memperoleh surat perceraian resmi dari Negara ketika pernikahan belum tercatat di Dinas Pencatatan Sipil. Oleh karena itu, untuk dapat memperoleh surat perceraian yang memiliki legalitas hukum, Ibu harus mencatatkan pernikahan siri di pencatatan sipil dan selanjutnya mengajukan gugatan perceraian. Selain itu, Ibu juga dapat mengajukan permohonan penetapan sahnya pernikahan melalui Pengadilan Negeri setempat untuk selanjutnya mengurus gugatan perceraian. Hal ini, sebagaimana perceraian bagi pasangan suami istri muslim yang menikah siri melalui Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama berkenaan pembuktian adanya perkawinan siri dalam rangka penyelesaian perceraian.
Salam – LBH Jakarta.