Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk pidana makar terhadap tiga tokoh eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) tidak terbukti. Meski demikian, Hakim tetap memutus bersalah ketiga terdakwa atas dakwaan kumulatif Penistaan Agama. Dalam putusan yang dibacakan pada Selasa, 7 Maret 2017 tersebut, hakim menjatuhkan vonis 5 tahun penjara pada mantan pemimpin Gafatar yaitu Mahful Muis dan Ahmad Mushaddeq. Sedangkan Andri Cahya, salah satu pendiri Gafatar divonis 3 tahun penjara.
“Meski perbuatan makarnya tidak dapat dibuktikan, tetapi terdakwa harus tetap mendapat hukuman karena paham yang dianut kelompok Gafatar telah menyinggung perasaan umat Islam dan menodai ajaran agama Islam,” ujar ketua Majelis Hakim, Muhamad Sirad dalam pertimbangan putusannya.
Hakim memutuskan ketiganya terbukti menodai agama Islam karena kegiatan Gafatar yang mayoritas anggotanya memeluk keyakinan Milah Abraham dianggap dengan sengaja menyebarkan di muka umum aliran yang menyimpang dari ajaran agama Islam. “Bahwa dalam ajaran Milah Abraham tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk berpuasa, beribadat haji, maupun salat yang mana itu merupakan penyimpangan ajaran agama resmi di Indonesia yaitu agama Islam dan juga ajaran tersebut melukai perasaan umat Islam,” ujar Sirad.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan kumulatif kepada ketiga terdakwa yaitu untuk Tindak Pidana Makar dalam Pasal 110 ayat 1 KUHP juncto Pasal 107 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Penistaan Agama dalam pasal 156 huruf a KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dalam tuntutannya, Jaksa menuntut Mahful Muis Tuma dan Ahmad Mushaddeq 12 tahun penjara. Sedangkan Andri Cahya dituntut 10 tahun penjara.
Atas putusan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa mengaku sangat kecewa dan menganggap putusan tersebut sebagai suatu kemunduran dalam penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia. Pratiwi Febry, Pengacara Publik LBH Jakarta, sekaligus juru bicara tim penasihat hukum mengatakan bahwa putusan tersebut tidak berimbang dan tidak sesuai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. “Hakim terlihat tidak imparsial di sini, padahal saksi maupun ahli yang diajukan tim penasihat hukum maupun jaksa banyak yang membuktikan klien kami tidak bersalah, tapi tidak ada satupun yang digunakan jadi pertimbangan putusan,” ujar Pratiwi usai sidang berakhir.
Selain mengkritisi putusan tersebut, Pratiwi juga mengkritik keberlakuan pasal penodaan agama yang dikenakan pada ketiga tokoh eks-Gafatar. Menurutnya pasal tersebut sangat kontradiktif dengan hak kebebasan bergama dan berkeyakinan yang telah dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945. “Kasus ini harusnya jadi pengingat para pembuat undang-undang untuk me-review kembali keberlakuan pasal ini supaya tidak ada lagi orang yang dipenjarakan hanya karena keyakinannya,” ujar Tiwi panggilan akrabnya.
Penasihat hukum terdakwa belum dapat memastikan apakah akan menempuh upaya hukum banding setelah mendapati putusan pengadilan ini. “Kami akan diskusikan dulu bersama para terdakwa,” pungkas Tiwi usai sidang berakhir.
Sidang yang dimulai pukul 14.00 WIB tersebut dipenuhi oleh wartawan dan anggota kelompok Gafatar. Ratusan polisi pun terlihat memenuhi PN Jakarta Timur. Usai vonis dibacakan, ruang utama PN Jakarta Timur pun dipenuhi isak tangis dari para keluarga dan kerabat Terdakwa. (Charlie)