PERNYATAAN SIKAP
Langkah tegas Pemerintah untuk menegakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan larangan bagi perusahaan tambang, termasuk bagi PT Freeport Indonesia (“PTFI”), untuk mengekspor mineral dalam bentuk konsentrat sebelum memenuhi tiga persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerinah No. 1 Tahun 2017, yakni; (1) kewajiban mengubah izin menjadi IUPK; (2) membangun smelter; dan (3) melakukan divestasi hingga 51% patut diapresiasi.
Pasalnya, keberadaan perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat tersebut sudah lama menjadi momok bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat asli Papua pada khususnya. Dengan berlandaskan Kontrak Karya yang mulanya ditandatangani pada tahun 1967 dan diperpanjang hingga tahun 2021 mendatang, PTFI telah, dan akan terus menimbulkan berbagai permasalahan bagi masyarakat Papua dan kerugian bagi Indonesia. Kehadiran Freeport yang direstui dilegalisasi oleh pemerintah melalui KK ataupun IUPK (jika jadi) terbukti telah menimbulkan kehilangan hak, kekisruhan sosial ekonomi, penderitaan bagi penduduk asli setempat, penghancuran budaya, kerusakan lingkungan, karena tidak menghormati hak-hak masyarakat setempat.
KK I dilaksanakan 2 tahun sebelum PEPERA 1967 dan Papua saat itu awasi oleh Indonesia sebagai perwakilan PBB dan belum secara resmi menjadi wilayah hukum Indonesia. Perdebatan status Papua pada masa awal KK I menjadi masalah politik yang tak kunjung selesai. Tuntutan untuk menutup Freeport dari masyakat Papua sudah ada sejak dahulu kala. Salah satu peristiwa diantaranya ialah pemotongan Pipa Kontsentrat tahun 1977 yang dijawab dengan Operasi militer. Tak hanya itu, Peristiwa Abepura Berdarah 16 Maret 2006 juga berawal ketika mahasiswa Papua menyerukan tutup Freeport dari Papua. Terjadinya beberapa pelanggaran HAM di bumi Papua selama ini, yang melibatkan Freeport juga tidak pernah diusut dan diselesaikan dengan tuntas hingga hari ini. Janji dan tuntutan pembagian hasil yang adil, kesejahteraan ekonomi dan jabatan manajemen tertinggi tidak juga pernah dipenuhi oleh Freeport dan Pemerintah Indonesia kepada masyarakat asli setempat.
Dari segi sosial, berkembangnya aktivitas Freeport (PTFI) menjadikan masyarakat asli Papua terasingkan dari tanah kelahirannya sendiri. Selain itu aparat TNI dan Polri yang seharusnya memberikan rasa aman telah dibutakan dengan berbagai aliran dana dari PTFI yang masuk ke kantung-kantung pribadi mereka. TNI dan Polri berbalik melakukan berbagai tindakan represif terhadap masyarakat yang menolak keberadaan PTFI. Imparsial mengungkapkan bahwa pada tahun 1995-2004 Polri dan TNI telah menerima aliran dana sebesar US$ 64 Juta dan US$ 1 juta pada tahun 2010 dari PTFI. Sedangkan KontraS juga melaporkan bahwa tiap bulannya, anggota Polri memperoleh honor Rp 1,25 juta perbulannya oleh manajemen PTFI. Pada tahun 2011 lalu, IPW juga mendorong agar KPK mengusut “bantuan dana” sebesar US$ 14 juta yang dialirkan oleh PTFI pada Polri dan TNI.
Sedangkan dari segi ekonomi, berbagai keuntungan melimpah yang dinikmati oleh PTFI sama sekali tidak dirasakan masyarakat Papua maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini antara lain dapat dilihat dari rendahnya penerimaan Indonesia berdasarkan skema pembagian hasil yang terjadi antara Pemerintah dengan PTFI. Kondisi perekonomian masyarakat asli Papua jauh memburuk sebagai dampak dari kehilangan sumber daya alam yang dahulu dapat leluasa mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi masyarakat asli Papua yang bekerja bagi PTFI, kondisi mereka tidaklah lebih baik dari rekan-rekannya. Pada tahun 2013, buruh PTFI hanya berkisar antara Rp 2 sampai Rp 3 juta perbulannya ditengah kondisi keselamatan kerja yang sangat memprihatinkan. Hal ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa Freeport McMoran Copper and Gold Inc. lainnya yang berada di Chile misalnya, dimana para buruh diupah Rp 19 juta per bulannya.
Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh PTFI juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup di sekitarnya. Salah satu contoh konkrit dari hal ini adalah sebagaimana dilaporkan oleh Walhi dan beberapa LSM lingkungan hidup lainnya, dimana PTFI membuang limbah B3 ke tanah ulayat Suku Kamoro di dataran rendah Mimika. Sebagai akibatnya, ditemukan adanya unsur logam berat berbahaya di dalam makanan lokal masyarakat Kamoro. Jika tidak juga dihentikan, hal ini jelas merupakan bentuk pembunuhan secara perlahan dan sistematis suku Kamoro dan perampasan hak atas lingkungan yang sehat bagi mereka.
Permasalahan-permasalahan sebagaimana diungkapkan di atas merupakan sebagian kecil saja dari penderitaan yang dialami masyarakat dan pemerintah Indonesai sebagai akibat dari eksploitasi yang terus dilakukan oleh PTFI. Selama PTFI dibiarkan menguasai sumber daya alam di Papua, maka selama itu pula masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang merupakan masyarakat asli Papua tidak akan pernah sejahtera dan akan semakin tertindas. Tidak tegasnya pemerintah dan sikap kompromistis terhadap keberadaan PTFI di tanah Papua telah menyebabkan aspek sosial, ekonomi, hingga lingkungan terus mendera rakyat Papua sebagai akibat dari eksploitasi yang dilakukan oleh PTFI.
Arogansi CEO Freeport-McMoran, Richard Adkerson yang menolak untuk mematuhi regulasi RI dan justru mengancam akan membawa persoalan ke arbitrase internasional sudah sepatutnya disikapi dengan ketegasan dari pemerintah. Pernyataan Richard Adkerson tersebut sejatinya juga merupakan ancaman terhadap kewibawaan pemerintah RI sebagai suatu negara yang berdaulat penuh.
Pemerintah RI tidak dapat lagi acuh ataupun toleran pada pembangkangan PTFI terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta peraturan pelaksananya. Terlebih lagi pemerintah RI tidak dapat diam ketika amanat Pasal 33 UUD 1945 secara nyata telah dilanggar oleh PTFI. Oleh karenanya hal ini merupakan momentum yang tepat bagi Pemerintah RI untuk mengembalikan penguasaan SDA di Papua pada Indonesia, guna sebesar-besarnya dikelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat Papua.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami Papua Itu Kita (PIK) menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendorong agar Pemerintah RI menghentikan kegiatan PTFI secara keseluruhan dan mengusir PTFI dari tanah Papua. Kembalikan penguasaan SDA yang selama hampir 50 tahun dikuasai oleh PTFI kembali ke tangan negara dan rakyat Papua untuk menjalankan amanat sebagaimana dimaksud Pasal 33 UUD 1945;
- Mendorong Pemerintah RI untuk segera membuka ruang melibatkan masyarakat adat papua, DPRD, dan elemen masyarakat papua guna menentukan masalah kelangsungan PTFI di tanah Papua dan langkah yang akan diambil pemerintah kedepan;
- Mendorong agar Pemerintah RI bersikap tegas terhadap ancaman yang dilayangkan oleh CEO Freeport-McMoran, dan tidak menyelesaikan permasalahan tersebut dalam ranah kompromi;
- Mendesak Presiden R.I. untuk memerintahkan BPK melakukan audit atas dana Kepolisian dan TNI yang berada di Papua, dan segera menindak tegas oknum-oknum yang terindikasi melakukan KKN.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, dan kami mendorong seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu dan bersehati menolak segala bentuk penjajahan model modern sebagaimana yang dilakukan oleh PTFI di tanah Papua.
Salam Merdeka!
Jakarta, 25 Februari 2017
Hormat Kami,
PAPUA ITU KITA
Contact Person:
1. Alves 0811486896
2. Alghiffari 081280666410