Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) membatalkan Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) untuk membuka hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir kepada publik. Dalam sidang pembacaan putusan banding KIP pada Kamis, 16 Februari 2017, Majelis Hakim PTUN mengabulkan permohonan keberatan dari Kementerian Sekretariat Negara (Setneg). Majelis Hakim beralasan bahwa hasil penyelidikan TPF Munir tidak dimiliki Setneg sehingga bukan kewenangan lembaga tersebut untuk membuka informasi.
“Bahwa informasi yang dimintakan tidak ada pada Setneg, sesuai dengan keterangan yang diberikan saksi Usman Hamid pada sidang KIP, di mana TPF menyerahkan langsung pada presiden dan tidak ada instruksi untuk menyimpan dokumen tersebut di Setneg, sehingga dengan ini beralasan untuk mengabulkan keberatan dari Pemohon Keberatan (Setneg-red),” ujar ketua Majelis Hakim PTUN, Wenceleus dalam pertimbangan Putusannya.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim PTUN membatalkan putusan dan pertimbangan Majelis Komisioner KIP. Dalam Putusan No. 025/IV/KIP-PS-A/2016, Majelis Hakim menetapkan hasil penyelidikan TPF Munir sebagai informasi publik yang wajib dibuka. Putusan KIP tersebut sebelumnya juga membebankan kewajiban pada pemerintah untuk menyediakan dan mengumumkannya kepada publik.
Atas putusan PTUN tersebut, Putri Kanesia, Kepala Divisi Advokasi hak Sipil Politik Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai pemohon informasi mengaku sangat kecewa. Pasalnya pemeriksaan di PTUN sangat tertutup dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2011.
“Kami (pemohon) baru diberitahukan agenda sidang untuk putusan ini saja tanpa ada pemeriksaan. Ini sangat berbeda dengan kasus sengketa informasi lain yang naik ke PTUN, yang seharusnya dilakukan pemeriksaan kembali,” ujar Putri di depan ruang persidangan setelah sidang berakhir.
Selain itu, menurutnya pertimbangan hakim juga menunjukan kemunduran dalam agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM. “Informasi kasus Munir ini penting bukan hanya untuk kepentingan Kontras atau LBH Jakarta, atau Suciwati dan keluarganya sebagai korban. Tetapi ini terkait dengan hak setiap warga negara Indonesia atas keadilan dan kepastian hukum,” tambahnya.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga menggarisbawahi perbedaan pertanggung jawaban membuka informasi publik antara Presiden dan Setneg. Menanggapi hal ini, Yunita Purnama, kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai kuasa hukum pemohon menjelaskan bahwa pertimbangan tersebut menunjukan kemunduran kualitas hakim dan sistem administrasi yang buruk.
“Sangat aneh jika Setneg tidak memegang dokumen tersebut padahal secara hukum ia merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab untuk urusan kesekretariatan presiden. Ini menunjukan keputusan itu sarat kepentingan politik, atau ya memang sistem administrasi pemerintahan kita yang buruk,” ujar Yunita. (Charlie)