Asep Sunandar bin. Sobri, 23 tahun, salah satu korban salah tangkap kepolisian. Di hari-hari pertamanya ia merantau ke Jakarta, Asep tidak menyangka harus menjalani hari-harinya di kursi pesakitan sebagai terdakwa karena dituduh melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan (atau sering disebut begal).
Kejadiannya bermula pada dini hari pukul 03.00 tanggal 13 Agustus 2016, beberapa orang menggunakan baju biasa mengaku polisi dan memasuki kontrakan Asep. Tanpa surat perintah penangkapan, polisi tersebut langsung membawa Asep. Menurut Asep, saat itu polisi langsung memborgol tangan Asep dan menutupi kepalanya dengan kain hitam. Setelah itu, Asep dimasukan kedalam mobil dan dibawa kesuatu tempat yang tidak diketahuinya karena mata tertutup. Di dalam mobil, Asep sempat kehausan dan meminta minum, polisi pun menyuruhnya membuka mulut. Namun demikian, bukannya diberikan air minum, Asep malah diberikan ludah oleh seseorang polisi. Selain itu, Asep mengaku juga dipukuli dan diseterum. Setelah mobil berhenti, Asep dibawa keluar mobil, ke tempat yang sepi, masih dengan mata tertutup. Ia tidak mengetahui keberadaannya. Di situ Asep dipukul dan ditendang pada kakinya hingga terjatuh berlutut, kemudian Asep merasakan ada seseorang yang memegang kakinya agar tidak bergerak dan setelah itu kaki Asep tepat di bagian betis ditembak.
Setelah ditelusuri, Asep ditangkap karena namanya dinyatakan oleh Adit sebagai salah satu pelaku begal yang beroperasi bersama-sama dengan Adit. Adit tidak mau mengakui nama pelaku sebenarnya karena telah diancam. Adit pun meminta maaf kepada Asep karena telah membawa Asep dalam perkara ini. Pengakuan Adit ini telah disampaikan pula kepada Majelis Hakim dalam persidangan yang terpisah.
Potret permasalahan salah tangkap dan penangkapan sewenang-wenang oleh kepolisian bukanlah yang pertama kali terjadi. Salah satu kasus lainnya yang ditangani LBH Jakarta ialah Agus Herjanto. Seorang tukang parkir yang menjadi korban salah tangkap lagi-lagi dituduh begal. Akhir-akhir ini semakin sering terlihat adanya salah tangkap terhadap begal akibat penyidik kepolisian yang tidak melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan.
LBH Jakarta mencatat setidaknya ada 5 (lima) pelanggaran yang dilakukan penegak hukum dalam penanganan perkara Asep sejak di penyidikan hingga penuntutan:
- Penangkapan Asep tidak sah, Asep tidak diberikan surat perintah penangkapan sehinga melanggar Pasal 18 ayat (1) KUHAP;
- Penahanan Asep tidak sah, menurut keterangan Rutan Salemba, Asep belum mendapat perpanjangan penahanan dari Pengadilan Negeri sementara Asep sudah bersidang. Hal ini bertentangan dengan Pasal 26 KUHAP;
- Asep tidak pernah didampingi penasihat hukum dalam pemeriksaan di kepolisian sehingga melanggar pasal 56 KUHAP;
- Asep mengalami penyiksaan untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukan dan dituangkan dalam BAP. Ia ditembak, disetrum, dipukuli oleh polisi demi memaksa Asep mengaku yang melanggar Pasal 7 dan 15 UU No. 11 Tahun 2015 tentang pengesahan Konvensi Anti Penyiksaan;
- Asep tidak menerima turunan berkas perkara, padahal itu merupakan hak bagi siapapun yang dituduh dan didakwa di muka persidangan. Jika tidak diberikan maka terjadi pelanggaran Pasal 143 ayat (4) KUHAP;
Selasa (31/1) sore, LBH Jakarta pun menyampaikan kejanggalan tersebut dalam Eksepsinya dan meminta Majelis Hakim di PN Jakarta Barat untuk demi hukum mengeluarkan Asep. Penasihat hukum Asep dari LBH Jakarta, Bunga Siagian, sempat dilarang untuk membacakan kronologis sebenarnya yang dialami Asep oleh Majelis Hakim. Tindakan seperti itu membuat Bunga khawatir hakim tidak bertindak imparsial (tidak memihak).
Majelis selanjuntya memberikan kesempatan kepada Jaksa untuk menanggapi pada sidang selanjutnya, selasa depan, lalu akan mempertimbangkannya.
Arif Maulana, Kepala Bidang Fair Trial, menyampaikan, “LBH Jakarta pada dasarnya mendukung adanya penanganan efektif terhadap maraknya perkara begal, khususnya di wilayah Jakarta Barat. Namun demikian, apabila cara kepolisian masih saja tidak berdasar, sewenang-wenang, tanpa bersandar pada aturan, maka akan selalu ada korban salah tangkap begal.”
“Saat ini LBH Jakarta sudah menangani 2 kasus salah tangkap begal. Pelaku yang sebenarnya malahan berkeliaran, sementara orang tidak bersalah masuk bui. Bisa-bisa masyarakat bukan hanya bisa jadi korban begal, tetapi juga korban salah tangkap karena dituduh begal,” lanjut Bunga menimpali.
LBH Jakarta berharap majelis hakim yang memeriksa perkara tidak tutup mata dan menganggap tidak tahu apa yang terjadi dan dapat memutuskan dengan tidak berpihak kepada apapun selain kepada kebenaran dan keadilan.
Ignorantia judicis est calanaitax innocentis (Ketidaktahuan hakim adalah suatu kerugian bagi pihak yang tidak bersalah)
1 Februari 2017
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung
Bunga Siagian (08567028934)