Front Rakyat Indonesia West Papua (FRIWP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan unjuk rasa di Istana Merdeka dan Komnas HAM (20/01). Dalam unjuk rasa kali ini, FRIWP dan AMP menyatakan menolak tuduhan makar kepada 4 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang ditangkap di Manado dan Jayapura. Unjuk rasa yang diawali dengan long march ini berlangsung aman dan tertib hingga usai.
Dalam orasi-orasi yang dilakukan selama unjuk rasa, perwakilan dari FRIWP dan AMP, mengungkapkan bahwa tindakan aparat kepolisian yang menangkap aktivis KNPB di Manado terlalu berlebihan dan terkesan sewenang-wenang. Mereka mengatakan bahwa penangkapan tersebut dilakukan tanpa maksud dan alasan yang jelas, para aktivis KNPB ditangkap hanya karena duduk-duduk di dalam sekretariatnya sendiri.
Lebih lanjut, FRIWP dan AMP juga menyesalkan tindakan pihak kepolisian yang kerap menggunakan tuduhan makar kepada para aktivis Papua yang berunjuk rasa. Unjuk rasa aktivis Papua kerap dimaknai sebagai mundurnya perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurut FRIWP dan AMP, penggunaan pasal makar yang digunakan oleh aparat lebih mengarah kepada ketakutan rezim penguasa terhadap perlawanan dari masyarakat sipil.
“Pengenaan pasal makar tanpa dasar dan tujuan yang jelas, kepada masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat dan pikirannya di depan umum adalah suatu bentuk kriminalisasi dan merupakan pelanggaran berat terhadap pelaksanaan hak sipil dan politik warga negara,” jelas Kordinator FRIWP.
“Kami hanya mengeluarkan pendapat, kami hanya menyampaikan kekejaman aparat dan ketidakadilan di tanah Papua, apakah hanya karena kata-kata kami kemudian membuat pemimpin negara menjadi terbunuh? Menjadi terluka?” tambahnya disambut gemuruh oleh massa unjuk rasa.
Peserta unjuk rasa juga menolak adanya sweeping yang dilakukan oleh Tim Gabungan Giat Operasi Mantap Praja (GOMPRA). GOMPRA merupakan tim gabungan yang beranggotakan aparat TNI dan POLRI, tim ini dibentuk dan dikirimkan oleh Kepolisian Daerah Papua (Polda Papua) untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat di Dogiyai jelang Pilkada. Namun, FRIWP dan AMP menilai tindakan yang telah dilakukan oleh GOMPRA sangat represif dan telah melampaui tugas yang sudah diberikan kepadanya. Penilaian tersebut muncul sebab dalam pelaksanaannya, GOMPRA justru melakukan sweeping tanpa arah, melakukan diskriminasi, serta memiliki kecurigaan berlebihan terhadap masyarakat di Dogiyai.
Menurut FRIWP dan AMP sweeping GOMPRA yang pada prakteknya menyita dan merampas secara paksa barang-barang pribadi masyarakat di Dogiyai merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas privasi. GOMPRA pun kerap melakukan introgasi berbasis stigma, mereka kerap melakukan tindakan diskriminatif kepada penduduk Dogiyai yang memiliki rambut gimbal.
“Di Dogiyai dan beberapa wilayah di Papua, orang-orang yang memiliki rambut gimbal dan kumis serta jenggot yang panjang selalu dicurigai, berapa dari mereka ada yang diinterogasi dan ditahan oleh aparat, beberapa yang malang nasibnya, bahkan sempat di hajar, dan dipukuli hingga mengalamai pendaharan,” ungkap salah seorang peserta unjuk rasa dari AMP dalam orasinya.
Setelah hampir 3 jam berorasi di depan Istana Merdeka, massa unjuk rasa pun berpindah ke Komnas HAM. Di Komnas HAM mereka meminta Natalius Pigai untuk menemui massa unjuk rasa. Massa unjuk rasa meminta Komnas HAM agar segera menyikapi tindakan represif aparat, baik di Papua maupun di Manado.
Setelah mengadukan permasalahannya kepada Komnas HAM massa unjuk rasa pun membubarkan diri. Unjuk rasa dari massa FRIWP dan AMP ini berlangsung damai, aman dan tertib tanpa ada hambatan ataupun tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. (Sony)