Oleh: Eny Rofi’atul N
Hari Anak Nasional semestinya diperingati oleh anak-anak Indonesia seluruhnya tanpa terkecuali, tidak membedakan latar belakang, warna kulit, agama, ras, status sosial, dan identitas lain yang merenggut haknya sebagai Anak Indonesia.
Anak, karena proses perkembangannya menjadi manusia dewasa memerlukan sejumlah kebutuhan dan perlindungan agar dapat bertumbuh sebagai manusia dewasa yang sehat baik fisik, mental, maupun sosial. Intervensi yang tidak tepat terhadap perkembangan anak, berpengaruh pada keadaan anak ketika menjadi dewasa. Salah satunya dengan meningkatnya konflik yang terjadi di Indonesia menjadi ancaman masa depan anak menuju kesempurnaan perkembangannya
Banyak contoh konflik yang bisa diambil di Indonesia: pengusiran penganut Syiah dari tempat tinggalnya dan harus tinggal di pengungsian, Ahmadiyah Cikeusik dan Mataram (transito) yang harus meninggalkan tanah kelahirannya dan mengungsi, kasus GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia yang direnggut hak-hak kemerdekaan beribadahnya. Otomatis Hak Atas Pendidikan mereka terenggut karena proses konflik yang terjadi tidak menempatkan anak dalam kondisi yang aman. Harusnya Negara menerapkan mekanisme khusus agar dalam kondisi kritis, anak masih berhak mendapatkan pendidikan dan kebutuhan dasarnya yang berguna untuk tumbuh kembangnya.
Kemudian data yang sangat mencengangkan, berdasarkan laporan KPAI, 50 juta anak-anak tidak memiliki Akta Kelahiran sehingga terhambat mengenyam pendidikan, tidak terlayani fasilitas kesehatan, tidak tersentuh program pemerintah, dan kehidupan jauh dari disebut layak sehingga tumbuh kembang anak terhambat. Dan ironisnya, mereka kebanyakan berasal dari keluarga miskin yang kehidupannya semakin sulit karena identitasnya tidak diakui Negara.
Baru-baru ini datangnya pengungsi Rohingnya ke Indonesia pun membuka fakta bahwa kelompok minoritas ini dilarang mengenyam bangku pendidikan sama sekali, baik ketika mereka di Myanmar, Malaysia, dan begitupun di Indonesia. Sungguh ironis jika anak yang belum memiliki kedewasaan dan kemandirian harus menjadi korban di tengah konflik dan perseteruan.
Penegakan hukum dalam perlindungan anak di Indonesia masih jauh dari ideal. Aparat penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim belum memiliki perspektif perlindungan anak. Dalam proses penyelidikan dan Penyidikan, masih ditemui kasus penyiksaan anak oleh oknum kepolisian. Anak pun harus ditempatkan di sel khusus ketika ditahan dalam proses penahanan, namun dalam praktek masih banyak terjadi percampuran sel dewasa dan anak-anak. Berdasarkan penelitian LBH Jakarta tahun 2012, 74 persen responden berhenti dari sekolah ketika menjalani proses hukum dikarenakan LP tidak memiliki fasilitas sekolah yang memadai.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, salah satu perangkat peraturan Perundang-undnagan yang mengatur sanksi pidana bagi anak, masih butuh perbaikan karena lebih mengupayakan mengadili daripada melindungi. Orientasi dari undang-undang ini adalah bagaimana anak-anak dikriminalisasi apabila memenuhi unsur-unsur pidana. Hal ini bertentangan dengan prinsip “the best interest of the child” dimana pemidanaan seharusnya menjadi opsi terakhir. Prinsip ini dimuat di dalam Convention on the Rights of the Child yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak yang kemudian diatur lebih lanjut lagi di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Indonesia sebagai Negara pihak yang meratifikasi Konvensi Anak, memilki kewajiban menerapkan 4 prinsip umum yang menjadi dasar dan acuan Negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak anak. Prinsip-prinsip umum itu meliputi Prinsip Non-diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip keberlangsungan hidup dan perkembangan, dan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tertera jelas kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah tertuang dalam pasal 21, Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental anak.
Namun dengan banyaknya kasus yang mengancam hak-hak anak terjadi di Indonesia dan Pemerintah hanya diam dan membiarkan, hal ini membuktikan bahwa Pemerintah telah abai melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Di Perayaan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2013 kali ini, sudah sepatutnya Negara memperbaiki konsep Indonesia yang Ramah bagi semua anak tanpa terkecuali. Saatnya Indonesia melindungi anak tanpa syarat, tanpa pilih kasih, tanpa melihat anak tersebut berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, status sosial dan berbagai klasifikasi yang dicap-kan ke anak. Perayaan Hari Anak Nasional ini adalah saatnya Negara sadar seluruh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawabnya kepada Seluruh Anak Indonesia.