JAKARTA – Dari rumah tua di pinggir Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat itu lahir barisan pendekar hukum yang membela kaum papa 40 tahun lalu.
Sempat menjadi lokomotif demokrasi ketika Soeharto berkuasa. Namun, kini lajunya terseok-terseok akibat anggaran yang minim.
Tiga orang pekerja sibuk menurunkan bangku-bangku dari mobil pikap, lalu memindahkannya ke dalam ruangan gedung berlantai empat itu. Dua buah tenda dengan satu panggung berdiri tegak di halaman. Di dalam ruangan yang begitu lega, sekitar 100 bangku berbalut kain putih disusun bersaf lima. Sejak Rabu (27/10) siang kemarin-bahkan dua hari sebelumnya-kesibukan begitu terasa di halaman kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Salemba, Jakarta Pusat.
Maklum, tepat hari ini, 28 Oktober 2010, “sekolah” para pendekar hukum di republik ini genap berusia 40 tahun. Disebut “sekolah” karena dari kantor di Jalan Diponegoro No 74 itulah lahir banyak “siswa” yang kemudian hari menjadi tokoh-tokoh besar dalam dunia hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Sebut saja advokat senior Adnan Buyung Nasution, Harjono Tjitrosoebono, Yap Thiam Hien, Victor Sibarani, R.O. Tambunan, Amartiwi M. Saleh, Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif, Mohamad Assegaf, Minang Warman, Albert Hasibuan hingga mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.
Kemudian ada pegiat HAM Munir, calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto, Hendardi, Todung Mulya Lubis, Nursyahbani Katjasungkana, Luhut Pangaribuan, Hotma Sitompul, Teten Masduki hingga tokoh muda Islam Munarman yang juga merupakan jebolan YLBHI.
Sejak dahulu, kantor YLBHI memang selalu ramai dengan aktivis dan pencari keadilan. Maklum, ketika Soeharto berkuasa banyak yang menyebut YLBHI sebagai lokomotif demokrasi di Indonesia. Didirikan pada 28 Oktober 1970, setelah sebelumnya digagas dalam kongres Persatuan Advokast Indonesia (Peradin) ke III tahun 1969, YLBHI yang pertama kali bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini, bertujuan untuk memberikan bantuan hukum gratis kepada orang-orang miskin yang tidak mampu memperjuangkan haknya akibat penindasan penguasa negara.
“YLBHI berdiri dengan tugas pokok memberikan akses bantuan hukum dengan kasus-kasus struktural. Tujuannya menghilangkan ketidakadilan struktural yang terutama dialami rakyat miskin,” kata Buyung. Ia salah seorang pendiri YLBHI kepada SH.
Apa yang dikatakan Buyung itu dibenarkan Bambang Widjajanto. Calon pimpinan KPK itu menyebut, LBH menjadi pusat pemberian pelatihan dasar bagi para aktivis untuk menegakkan hukum.
Mereka ditempa supaya tidak hanya memiliki pengetahuan teori tetapi juga punya hati dan keberpihakan kepada demokrasi. Sementara itu, Advokat senior Todung Mulya Lubis menyatakan, beracara di YLBHI melatih diri untuk berkomunikasi dengan rakyat misikin, mengetahui isi hati mereka.
Anggaran Minim
Namun, sejak berdiri hingga sekarang, ada satu persoalan yang kerap dihadapi YLBHI yakni anggaran yang minim. Erna Ratnaningsih yang baru terpilih menjadi Ketua YLBHI sejak Juli 2010 mengatakan, saat ini penyandang dana YLBHI di antaranya berasal dari AUSAID, TIFA Foundation dan The Oslo Coalition.”Itu pun kerja sama dalam bentuk per program, tidak keseluruhan,” ujarnya.
Dengan membawahi 14 kantor LBH dan sekitar 3.000 kasus per tahun di seluruh Indonesia, dana yang diterima dan anggaran operasional yang dikeluarkan YLBHI cukup timpang. Oleh karena itu, ia pun menetapkan kebijakan setiap LBH dibebaskan mencari sumber dana masing-masing.
Tapi Erna menegaskan, anggaran YLBHI tidak melulu dari lembaga donor asing. YLBHI juga menggalang dana dari publik lokal. Akibat dari anggaran yang minim, kata Erna, ia juga memutuskan untuk membentuk kepengurusan yang lebih ramping dari sebelumnya.
YLBHI pun kini tidak seperti dulu sebagai lokomotif demokrasi yang menggarap semua isu dan kasus. Dari 3.000 kasus, tidak semuanya dapat ditangani. “Kami kini mereposisi peran YLBHI dalam menyikapi sebuah isu agar pekerjaan lebih fokus. Hanya kasus-kasus struktural yang kini kami tangani,” ujarnya.
Dari 3.000 kasus yang ada, Erna menjelaskan, sekitar 1.200 kasus dengan klien sebesar 70 persen adalah orang miskin bersumber dari Jakarta. “Coba kalau dihitung satu kasus kira-kira bisa menghabiskan biaya sekitar Rp 5 juta, berapa besar biaya yang keluar?” katanya.
Erna mengatakan, YLBHI kini tidak perlu lagi menggarap semua isu juga karena saat ini sudah banyak organisasi nonpemerintah yang menggarap isu lebih spesifik, di mana para pendirinya merupakan jebolan YLBHI, sehingga bisa bekerjasama.
Terlepas dari pelbagai persoalan yang dihadapi YLBHI sejak dahulu hingga saat ini, kata Buyung, YLBHI tetap menjadi tempat berkumpulnya para pembela hukum. Maka YLBHI tetap harus fokus memberikan bantuan hukum kepada rakyat miskin dan lebih mengutamakan program-program yang strategis. Apalagi, hingga kini negara tak kunjung menunjukkan komitmennya membantu kaum papa.
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/mampukah-kembali-menjadi-lokomotif-demokrasi/