TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstutusi (MK) mengabulkkan uji materi Undang-undang nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban Umum tidak sesuai dengan semangat undang-undang dasar 1945. MK menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan penyitaan buku oleh kejaksaan harus melalui putusan pengadilan serta tidak melalui Kejaksaan Agung.
“Menyatakan undang-undang nomor 4/PNPS/1963 tidak sesuai dengan undang-undang dasar 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstiotusi, Mahfud MD saat sidang di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu(13/10/2010).
Dalam pertimbanagnnya Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa frasa “pengawasan peredaran barang cetakan”, khususnya kata “Pengawasan” menurut Mahkamah memang tidak dimaknai sebagai “Pengamanan” sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 yang telah dicabut, apalagi sebagai “Pelarangan” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Dalam kejadian seperti itu, misalnya seperti penyitaan buku berjudul, “Enam Jalan Menuju Tuhan sebagaimana disebutkan di atas, aparatur negara yang berwenang dapat saja melakukan penyitaan setelah mendapat izin dari ketua pengadilan negeri setempat atau menyita terlebih dahulu dalam hal yang mendesak, lalu meminta izin persetujuan penyitaan dari ketua pengadilan negeri setempat dilanjutkan dengan penyidikan, penuntutan dan penyidangan oleh instansi yang berwenang menurut Undang-Undang yang berlaku, ” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Sebelumnya, Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Rhoma Dwi Arya, mengajukan gugatan uji UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang pengamanan barang cetakan.Mereka menilai, Undang-undang ini tidak lagi sesuai dengan iklim reformasi yang menjunjung semangat keterbukaan. Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, lembaga ini hanya memiliki kewenangan mengawasi peredaran barang cetakan. Kejagung tidak memiliki wewenang melarang peredaran buku.
Menjelang akhir 2009, Kejagung melarang peredaran 5 judul buku yaitu “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto,” karya John Rosa; “Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan,” “Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri,” karya Cocratez Sofyan Yoman; “Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965,” karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhudin M Dahlan; “Enam Jalan Menuju Tuhan,” karya Darmawan MM; dan “Mengungkap Misteri Keberagaman Agama” karya Drs Syahrudin Ahmad.
Sumber: tribunnews.com