Priyo dilaporkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi yang terdiri dari Jamil Mubarok (Masyarakat Transparansi Indonesia), Ahmad Biky (Lembaga Bantuan Hukum Jakarta), Alvon Kurnia Palma (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Erwin Natosmal Oemar (Indonesia Legal Roundtable), Muji Kartika Rahayu (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional), Wahyu Wagiman (Public Interest Lawyer Network), dan Abdullah Dahlan (Indonesia Corruption Watch).
Kepada pers, Abdullah Dahlan mengatakan, tindakan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar itu telah merusak citra lembaga legislatif secara keseluruhan, karena tindakan yang dilakukan pada 22 Mei 2013 itu sama saja dengan memfasilitasi sembilan narapidana perkara korupsi untuk mendapat remisi dari pemerintah. Apalagi karena sebelumnya, pada 1 Juni 2013, dengan dalih sedang ada kuliah di Bandung, Priyo sempat mengunjungi lapas tempat para narapidana itu ditahan, Lapas Sukamiskin.
“Tindakan Pak Priyo itu patut diduga melanggar peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2011 tentang kode etik,” tegasnya.
Dahlan menyebut, ada tiga pasal dan enam ayat yang dilanggar Priyo atas tindakannya itu, yakni Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan; “Anggota DPR dalam setiap tindakannya lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, partai politik dan atau golongan”.
Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Anggota DPR bertanggungjawab mengemban amanat rakyat, melaksanakan tugasnya secara adil, mematuhi hukum, menghormati keberadaan lembaga legislatif, mempergunakan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, serta mempertahankan keutuhan bangsa dan kedaulatan negara”.
Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan; “Anggota DPR harus menghindari perilaku tidak pantas yang dapat merendahkan citra dan kehormatan, merusak tata cara dan suasana persidangan, serta merusak martabat lembaga”.
Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Anggota DPR sebagai wakil rakyat, harus menyadari adanya pembatasan-pembatasan pribadi dalam bersikap, bertindak dan berperilaku”.
Pasal 3 ayat (8) yang menentukann bahwa “Anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili dan kelompoknya”.
Dan pasal 9 ayat (5) yang menentukan bahwa “Anggota DPR harus bersikap penuh wibawa dan martabat dalam menjalankan tugas dan wewenangnya”.