Pelaporan terkait aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) yang dilakukan oleh dua orang anggota DPR: Ahmad Yani dan Sarifudin Sudding tentu saja mengancam gerakan pemberantasan korupsi di masa depan. Jika dilihat lebih luas, dengan adanya upaya pelaporan yang dilakukan oleh dua orang anggota DPR ini, tidak hanya gerakan pemberantasan korupsi yang akan terbungkam. Namun upaya dan gerakan masyarakat sipil lainnya yang berpartisipasi dalam proses demokrasi juga sedang terancam.
Proses demokrasi memberikan ruang bagi setiap warga negara atau masyarakat sipil untuk berpartisipasi mengawasi jalannya pemerintahan, dan bila diperlukan mengkritik dan mengingatkan para pejabat publik -termasuk anggota DPR- yang telah mereka pilih apabila ditemukan penyimpangan. Pada titik inilah kiranya rilis 36 Calon Daftar Caleg Sementara (DCS) yang diragukan komitmen antikorupsi yang dilakukan kawan-kawan ICW dan JPPR yang patut dipahami sebagai bentuk partisipasi publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Selain itu, upaya pelaporan para aktivis ICW ke Kepolisian pastinya juga menutup masukan dan kritik masyarakat sipil terhadap proses pemilu yang demokratis dan bersih di masa depan. Mengingatkan publik lebih awal terhadap calon-calon yang bermasalah adalah upaya memutus rantai korupsi politik yang telah menggurita. Hanya pada proses DCS lah kesempatan publik untuk memutus rantai korupsi politik dari hulu. Dengan demikian, mengingatkan publik dan penyelenggara pemilu untuk menghasilkan para wakil-wakil publik di masa depan yang amanah tentu saja adalah sebuah keniscayaan yang harus diambil oleh masyarakat sipil.
Meskipun demikian, ketidaksetaraan posisi dan peran masyarakat sipil dalam proses hukum di institusi penegak hukum jika berhadapan dengan pejabat publik yang mempunyai kekuasaan sangat berpotensi mengkriminalisasi aktivis dan masyarakat sipil yang ingin menyuarakan perubahan. Ada beberapa contoh bagaimana masyarakat sipil yang ingin yang membongkar praktik korupsi malah dikriminalisasi pada proses hukum di Kepolisian, seperti yang terjadi terhadap Musni Umar yang membuka kasus korupsi di salah satu sekolah negeri terkemuka di Jakarta.
Berangkat fenomena demikian, kami Koalisi Pemantau Peradilan dan Demokrasi, menyampaikan pernyataan sikap:
- Mengecam tindakan dua anggota DPR yang melaporkan para aktivis ICW yang merilis Daftar Calon Sementara DPR yang diragukan komitmen antikorupsinya ke Kepolisian.
- Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil, termasuk dalam hal ini ICW, yang mengeluarkan daftar-daftar calon-calon yang bermasalah sebagai bentuk partisipasi publik untuk memperkuat kualitas demokrasi.
- Meminta kepada Kepolisian untuk:
- Mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh masyarakat sipil.
- Bertindak objektif dan lepas dari tekanan para anggota DPR yang mencoba memaksakan kehendaknya untuk mengkriminalisasi gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh masyarakat sipil.
Jakarta, 9 Juli 2013
Koaliasi Pemantau Peradilan dan Demokrasi
Indonesian Legal Roundtable (ILR), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), LBH Jakarta, Masyarakat Transparasi Indonesia (MTI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Contak Person:
Erwin Natosmal Oemar : 081392147200 (Indonesian Legal Roundtable)
Maruli Rajagukguk : 081369350396 (LBH Jakarta)
Veri Junaidy : 085263006929 (Perludem)