Delapan belas etnis Rohingya (sebagian besar perempuan dan anak-anak) saat ini menjadi tuna wisma dan membutuhkan bantuan logistik. Mereka sempat mendaftarakan diri menjadi pencari suaka di UNHCR Malaysia, namun tidak dapat hidup layak, bahkan anak-anak mereka tidak dapat bersekolah. Tiga puluh tahun lebih mereka disana dan telah mendaftarkan diri ke Perwakilan UNHCR Malaysia. Sejak awal tahun 2013, mereka telah menetap di Indonesia untuk meminta perlindungan. Di Indonesia, uang mereka habis karena diminta oleh orang yang menjanjikan akan membawa mereka ke Australia. Sdr. Hanif, salah satu dari pencari suaka tersebut menjadi korban penganiayaan.
Kedelapan belas etnis Rohingya tersebut tidak memiliki tempat tinggal, dan tidak mengetahui Indonesia. Mereka sempat mendatangi UNHCR Jakarta dan mendaftar kembali. Namun mereka juga tidak mendapatkan bantuan tempat tinggal dan makanan. Sempat mereka mendapatkan tempat berteduh sementara, namun tidak diizinkan lama. Saat ini mereka ditampung sementara di gedung YLBHI, sampai mendapatkan tempat tinggal yang layak. Namun demikian, masalah makanan dan kebutuhan lainnya masih belum terselesaikan.
Permasalahan yang dihadapi ke-18 orang etnis Rohingya, juga merupakan permasalahan yang dihadapi ribuan pengungsi lainnya di Indonesia. Cukup besarnya angka pengungsi yang ada di Indonesia tidak diimbangi dengan perangkat hukum yang spesifik untuk mengatur penanganan, perlindungan serta hak dan kewajiban mereka. Beberapa peraturan perundang-undangan mengatur mengenai illegal migrant atau penyelundupan manusia, namun sudut pandang ini tidak tepat, mengingat pada hakikatnya mereka adalah korban dari pelanggaran hak asasi manusia.
Keberadaan para pengungsi di Indonesia yang masih dipandang sebatas sebagai ‘imigran ilegal’ membuat mereka tidak dapat memiliki akses atas kehidupan yang layak. Hak untuk mencari dan mendapatkan kerja serta akses untuk pendidikan dapat dianggap menjadi permasalahan utama mereka di Indonesia. Dengan tidak adanya mata pencaharian, kelangsungan hidup dalam pemenuhan kebutuhan pokok menjadi kekhawatiran mereka setiap hari selama berada di Indonesia. Begitu juga pendidikan terutama bagi anak-anak di usia sekolah.
Mereka juga terancam akan penahanan atau penempatan mereka di dalam rumah detensi imigrasi (rudenim), yang mana merupakan bentuk pelanggaran atas kebebasan bergerak mereka. Mereka ditahan tanpa melakukan kejahatan kriminal apapun dan tanpa melalui proses peradilan yang adil serta mereka tidak diberi kejelasan tentang berapa lama mereka akan berada di dalam rudenim. Kondisi di rudenim sendiri tidak dapat dikatakan manusiawi, dan beberapa kali diterima kabar bahwa beberapa anak dan perempuan juga berada di dalamnya.
Konvensi PBB tahun 1951 (Convention Relating to the Status of Refugee) dan protokolnya tahun 1967 merupakan perangkat hukum internasional utama saat ini mengenai pengungsi. Indonesia hingga hari ini belum menjadi negara pihak dari konvensi ini, walaupun sudah direncanakan untuk menjadi negara pihak di dalam RAN HAM periode 2004-2009. Namun karena belum terlaksana maka akan dilanjutkan pada periode 2009-2014. Sekalipun belum juga meratifikasi, bukan berarti Indonesia tidak memiliki tanggung jawab apapun atas pengungsi yang ada saat ini.
Pemenuhan dan penghargaan atas Hak Asasi Manusia kepada siapa saja yang ada di Indonesia termasuk para pengungsi dapat ditemukan pada sila ke-2 dasar negara Indonesia, Pancasila, yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Juga dapat dilihat dari keikutsertaan Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih rinci lagi, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrumen HAM Internasional termasuk di dalamnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right; International Covenant on Civil and Political Rights; International Covenant on Rights of the Child; dan instrumen internasional lainnya yang harus ditaati dan dilaksanakan Indonesia kepada semua orang yang berada di wilayah Indonesia.
Orang Rohingya tidak saja bagian dari 414.626 pengungsi dan 24.033 pencari suaka asal Myanmar yang melarikan diri dari persekusi dan konflik tetapi juga menjadi bagian dari sekitar 12 juta orang di dunia yang tidak memiliki kewarganegaraan. Dalam situasi yang sangat rentan ini jaringan SUAKA ingin mendorong Pemerintah Indonesia untuk:
- Membuat kerangka hukum yang spesifik dan jelas untuk melindungi mereka serta mengatur hak dan kewajiban mereka selama berada di Indonesia.
- Tidak lagi menggunakan istilah “migran ilegal” (Illegal migrant), melainkan pencari suaka atau pengungsi. Perlu disosialisasikan ke masyarakat bahwa antara migran ilegal dan pengungsi memiliki pengertian yang jauh berbeda. Hal ini penting untuk menghindari penolakan dari masyarakat atas kedatangan pengungsi Rohingnya yang diperkirakan akan terus bertambah jika situasi di Myanmar tidak kunjung stabil. Apalagi jika kedatangan mereka disangkutpautkan dengan isu SARA tentunya akan memperkeruh kondisi pengungsi di Indonesia.
- Tidak menahan mereka di dalam rumah detensi imigrasi. Harus ada alternatif lain untuk memantau mereka.
- Memberi hak untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan demi kelangsungan hidup mereka selama berada di Indonesia, juga hak atas pelayanan kesehatan serta hak atas pendidikan terutama untuk anak-anak mereka.
Jakarta, 8 Juli 2013
Suaka: Indonesian Civil Society Network for Refugee Protection
Contact Person: Febi Yonesta (087870636308), Ali Akbar Tanjung ( 081289018838), Alvon Kunia Parma (08126707217).