Pada hari Rabu, 3 Juli 2013 sidang uji materi terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menempuh tahap pemeriksaan ahli dan saksi. Komite Nasional Pendidikan mengajukan beberapa saksi yang menunjukkan bagaimana UU Dikti mengancam akses pendidikan yang merata dan berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu alasan uji materi adalah dengan diberlakukannya uu pendidikan tinggi maka perguruan tinggi atas nama otonomi pengelolaan dibenarkan untuk membebankan dana operasional kepada peserta didik, kondisi ini mengancam hak pemudi/pemuda Indonesia atas pendidikan. Hal ini dipaparkan sangat jelas oleh Alldo Fellix Januardy, anggota Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa Universitas Indonesia, bahwa dana pemasukan UI hampir 50% diperoleh dari biaya operasional per semester mahasiswa. Bahkan di tahun 2012, angka tersebut meningkat tajam menjadi 57%.
Kenyataan di atas memang sudah pernah diprediksi sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan nomor 11-14-21-126 dan 136/PII-VII/2009 yang membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan Tinggi dengan salah satu pertimbangannya “Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah…”. UU Pendidikan Tinggi yang saat ini sedang diuji di MK memiliki semangat dan substansi yang serupa dengan UU Badan Hukum Pendidikan yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Hal senada juga disampaikan oleh Nurul Pratiwiningrum yang gagal menyelesaikan kuliahnya di UI karena biaya operasional yang terlalu mahal. Nurul telah mencoba menempuh mekanisme keringanan namun gagal sehingga dia memutuskan untuk mundur. Tentunya kasus Nurul hanyalah satu dari banyak kasus yang belum terangkat ke publik seperti yang disampaikan oleh Muhammad Helmy dari Universitas Negeri Makassar. Helmy mengadvokasi teman-temannya yang terpaksa harus cuti ataupun berhenti kuliah akibat biaya operasional yang tidak terjangkau. Fakta ini menunjukkan tingginya biaya kuliah yang ditetapkan oleh perguruan tinggi mampu mencerabut hak atas pendidikan warga negara Indonesia.
Ahli Emil Salim menyatakan bahwa tidak ada pendidikan berkualitas dan bagus yang murah. Beliau kemudian mengambil contoh Harvard, Yale, Cambridge. Namun fakta yang mungkin terlupakan oleh beliau adalah bahwa beberapa perguruan tinggi yang beliau sebutkan tadi adalah perguruan tinggi swasta. Komersialisasi pendidikan di Negara Indonesia, karena dengan komersialisasi pendidikan hanya akan melestarikan kesenjangan ekonomi antara warga, yang miskin akan tetap menjadi miskin karena minimnya akses atas pendidikan hingga peluang mendapatkan pekerjaan yang layak pun semakin sempit, sedangkan yang kaya akan semakin kaya karena mereka dapat secara leluasa meningkatkan skil dan pengetahuannya di perguruan tinggi yang mereka pilih, termasuk di perguruan tinggi negeri.
Jakarta, 3 Juli 2013
Hormat kami
Tommy Albert Tobing, S.H.
Kuasa Hukum Komite Nasional Pendidikan
Contact Person: Pratiwi Febry (081387400670)