JAKARTA – Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Maruli, mengatakan, hampir 15 tahun paska ratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan hukum lain yang kejam tidak manusiawi masih terjadi di Indonesia.
“Dalam penelitian LBH tahun 2008, 83 persen mereka yang pernah diperiksa di kepolisian mengalami penyiksaan. Pada tahun 2010 kita juga melakukan penelitian di lima kota yakni Jakarta, Makassar, Surabaya, Banda Aceh dan Lhokseumawe ditemukan 72,9 persen mengalami penyiksaan,” kata Maruli di LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta, Rabu (26/6/2013).
Kata Maruli, bentuk penyiksaan yang dialami tahanan berupa disetrum dan pemukulan oleh oknum polisi.
“Pada tahun 2012 LBH Jakarta melakukan penelitian tentang penyiksaan dengan responden 100 orang, dimana para responden mengaku polisi sering menyiksa pada saat penangkapan sebanyak 82 persen, penyiksaan saat proses BAP sebanyak 84 persen dan penyiksaan saat penahanan sebanyak 48 persen,” ungkapnya.
Selain buruknya mental oknum polisi lanjut dia, penyiksaan kerap kali dilakukan pada proses hukum khususnya ketika proses penyidikan. “Sistem hukum acara pidana yang diatur dalam UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP tidak mampu mencegah dan memberikan peluang praktek penyiksaan,” jelasnya.
Maruli juga menyesalkan, sikap majelis hakim yang tidak merespons pengakuan terdakwa yang disiksa saat dalam tahanan di persidangan.
“Hakim juga melakukan pembiaran, banyak terdakwa yang mengatakan disiksa selama ditahan kepada majelis hakim, namun dibiarkan saja oleh hakim,” tegasnya. (put)
Sumber: okezone