#JakartaKritis
100 hari sudah Anies-Sandi menduduki tampuk pimpinan DKI Jakarta. Pasangan ini memiliki 23 janji kampanye yang dibagi ke dalam 154 program dan dirinci menjadi 473 kegiatan. Janji-janji tersebut telah dinyatakan oleh pasangan ini sebagai fokus utama untuk direalisasikan dalam 100 hari pertamanya. 100 hari memang waktu yang baru sebentar, namun berbagai kejadian dan kebijakan yang diambil dalam waktu tersebut dapat dijadikan indikasi awal mengetahui sikap politik Anies-Sandi ke depan mengawal janjinya.
Berikut ini adalah catatan LBH Jakarta tentang 7 permasalahan krusial warga Jakarta yang dihadapi pasangan Anies-Sandi pada 100 hari kerjanya. Sebagian telah dijanjikan, sebagian lagi menanti untuk dituntaskan:
1. Reklamasi Teluk Jakarta
Dalam 23 Janji Kapanyenya, Anies-Sandi berjanji menghentikan Reklamasi Teluk Jakarta untuk kepentingan pemeliharaan lingkungan hidup serta perlindungan terhadap nelayan, masyarakat pesisir dan segenap warga Jakarta. Selama 100 hari kerjanya, Anies-Sandi telah menarik dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dari DPRD dan menyurati Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Jalil untuk membatalkan HGB tiga pulau reklamasi. Tentunya langkah tersebut perlu diapresiasi mengingat upaya membatalkan reklamasi yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup tersebut cukup sulit sebab pemerintah pusat begitu ngotot ingin melanjutkan proyek reklamasi demi menjaga kepentingan investasi pengembang (developer). Meski demikian, dengan kewenangan besar yang dimiliki gubernur DKI Jakarta secara hukum dalam pengambilan keputusan mengenai reklamasi, langkah tersebut terbilang masih sangat minim. Berbagai penelitian telah banyak diluncurkan dan membuktikan bahwa reklamasi teluk Jakarta merusak lingkungan hidup, melanggar hukum dan berpotensi menyebabkan kerugian negara. Anies-Sandi seharusnya lebih berani untuk melakukan langkah-langkah besar membatalkan proyek reklamasi untuk dapat membuktikan janji politiknya tersebut dan bukan sekedar menunda pelaksanaan reklamasi.
2. Penggusuran Paksa
Salah satu faktor penting kemenangan Anies-Sandi adalah janji mereka untuk tidak melakukan penggusuran. Dalam 100 hari pemerintahannya, Anies-Sandi memang terlihat hati-hati betul menjaga komitmen tersebut. Salah satu kebijakan yang dibanggakannya adalah dengan tidak menggusur PKL Tanah Abang melainkan memfasilitasinya di badan jalan Jatibaru.
Meski demikian, LBH Jakarta mencatat dalam 100 harinya, Anies-Sandi justru telah melanggar salah satu janjinya ketika menggusur pemukiman di bantaran Kanal Banjir Barat (KBB) pada November 2017 dengan mereplikasi pola-pola penggusuran pemerintahan terdahulu. Warga digusur tanpa musyawarah dan tanpa pencarian solusi tempat tinggal bagi warga. Pemprov juga mengerahkan aparat yang tidak proporsional dengan melibatkan TNI dan Polri dalam penggusuran.
Memang belum ada angka penggusuran yang signifikan selama 100 hari kerjanya, namun kasus KBB dapat dijadikan peringatan dini untuk membaca sikap Anies-Sandi dalam penggusuran. Anies-Sandi perlu memperbaiki perspektifnya tentang “warga liar” dan “bangunan liar” yang sering dijadikan alasan penggusuran, sebab dalam perspektif Hak Asasi Manusia, Pemerintah merupakan pengemban tanggung jawab pemenuhan hak atas tempat tinggal warganya. Penggusuran paksa terhadap warga yang dianggap ‘liar’ justru menimbulkan persoalan baru dalam masyarakat. Anies-Sandi harus selalu melakukan musyawarah dengan warga sebelum melakukan penataan, melibatkan warga dalam pencarian solusi yang tepat bagi warga terdampak dan tidak mengerahkan aparat secara berlebihan dalam setiap agenda penataan kota.
3. Normalisasi Kali Ciliwung
Di 100 hari pertamanya, Anies-Sandi langsung diperhadapkan dengan persoalan banjir. Anies juga telah menyatakan akan melanjutkan program normalisasi kali Ciliwung. Normalisasi kali Ciliwung adalah program andalan yang digagas Jokowi-Ahok untuk mengatasi banjir secara cepat. Program ini kemudian mengakibatkan maraknya penggusuran kampung-kampung di bantaran kali Ciliwung selama pemerintahan Jokowi, Ahok hingga Djarot.
Banjir memang selalu menjadi tantangan pemimpin Jakarta sejak dulu. Permasalahannya, seringkali pencarian solusi bagi masalah banjir hanya diselesaikan untuk jangka pendek dan instan untuk kepentingan elektoral 5 tahunan. Normalisasi Kali Ciliwung dianggap juga salah satunya. Para ahli telah menyatakan bahwa normalisasi sungai bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi banjir Jakarta mengingat biaya yang besar dan mengorbankan banyak sekali warga yang harus kehilangan pemukimannya. Alih-alih melanjutkan proyek normalisasi, Anies Sandi seharusnya lebih berani menggalakan program penanganan banjir yang tepat sasaran menekan penyebab banjir sebagaimana direkomendasikan para ahli. Beberapa langkah tersebut di antaranya dengan memperbaiki drainase kota yang buruk, menekan eksploitasi air tanah yang berlebihan serta mengontrol pemukiman dengan penguatan penegakan hukum dan konsistensi tata ruang.
4. Rumah Untuk rakyat
Salah satu program andalan Anies-Sandi yang dinanti banyak pihak adalah program Rumah 0 Rupiah. Program ini adalah realisasi dari salah satu janjinya untuk memberdayakan para pengembang kelas menengah membangun kampung susun, kampung deret dan rumah susun, serta mempermudah akses kepemilikan bagi warga tidak mampu. Realisasi janji tersebut tentu penting untuk mengatasi tingginya ketimpangan kepemilikan hunian di Jakarta. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017 telah menunjukan tingkat ketimpangan DKI Jakarta sebesar 0,41. Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta juga mencapai 389,69 ribu orang per Maret 2017 atau sebesar 3,77%.
Diresmikannya program DP 0 rupiah di satu sisi tentu patut diapresiasi untuk permasalahan hunian kelompok berpenghasilan menengah, meskipun belum dapat dibilang berhasil. Masalah pembiayaan, seleksi penghuni hingga pengelolaan mandiri sarusun (untuk model Rumah Susun) menjadi pekerjaan rumah yang harus diperhatikan Anies-Sandi dalam program ini.
Persoalan yang belum disentuh oleh Anies-Sandi justru yang berkaitan dengan pemenuhan hunian Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang masih bertumpu pada program Rusunawa. Penelitian LBH Jakarta (Mereka yang terasing-2016) telah menunjukan bagaimana korban gusuran dan MBR yang menghuni Rusunawa mengalami penurunan kesejahteraan. Bahkan buruknya pengelolaan di Rusunawa telah menghasilkan penggusuran ganda bagi korban gusuran dan MBR hanya karena tidak mampu membayar tunggakan sewa atau melanggar aturan Rusunawa yang memuat sanksi tidak proporsional. Anies-Sandi perlu merevisi ketentuan Pergub DKI No. 111/2014 mengenai mekanisme penghunian Rusunawa yang memuat sanksi-sanksi yang tidak proporsional bagi penghuni Rusunawa dan berpotensi menghasilkan penggusuran ganda.
5. Privatisasi Air Jakarta
Pada 10 Oktober 2017, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan nomor 31 K/Pdt/2017 yang membatalkan privatisasi air di Provinsi DKI Jakarta. Keputusan tersebut memerintahkan penghentian kebijakan swastanisasi air minum yang dijalankan BUMD milik Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, dengan pihak swasta yaitu PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja). Dalam putusan tersebut Pemprov DKI Jakarta adalah salah satu tergugat yang wajib menjalankan putusan tersebut.
Putusan yang terbit sebelum periode 100 hari Anies-Sandi tersebut sayangnya belum dilaksanakan oleh pasangan ini hingga sekarang. Anies-Sandi dalam hal ini tidak berani memberikan komitmennya untuk menjalankan putusan MA tersebut. Dalam 23 janjinya, Anies-Sandi menjanjikan memperluas cakupan dan memperbaiki kualitas layanan air bersih dengan prioritas pada wilayah-wilayah dengan kualitas air terburuk, dan memberikan subsidi langsung untuk warga tidak mampu. Tentunya, janji tersebut seharusnya punya semangat yang sama dengan putusan MA serta Putusan MK yang menyatakan air sebagai benda publik yang tidak boleh dikelola dan diusahakan oleh swasta demi dapat diakses oleh setiap orang. Jika Anies-Sandi berani mengembalikan pengelolaan air pada pemerintah daerah, hal itu akan menjadi keputusan landmark yang dapat menjadi contoh yang baik tidak hanya secara nasional bahkan Internasional.
6. Penataan Kampung Kota
Dalam 100 harinya, Anies-Sandi meresmikan program Community Action Plan (CAP) 16 Kampung yang merupakan realisasi dari janjinya untuk peningkatan kualitas penataan kawasan kampung-kampung di Jakarta. CAP adalah program Dinas Permukiman Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) untuk menata 16 kampung antara lain kampung Akuarium, Lodan, Muka, Marlina, Gedung Pompa, Elektro, Kunir Pinangsia, Nelayan Kerang Ijo, Rawa Barat, Rawa Timur, tongkol, Krapu, Tembok Bolong dan Baru Tembok.
Tentunya langkah tersebut adalah terobosan yang baik mengingat pola-pola pembangunan sebelumnya sangat tidak inklusif dan mempertebal gentrifikasi dalam masyarakat. Meski demikian, dalam kasus ini Anies-Sandi seharusnya dapat menerapkan pendekatan serupa, tidak hanya pada 16 kampung kota yang telah menandatangani kontrak politik pada saat Pilkada tersebut saja, melainkan juga dengan kampung lain yang menghadapi problem serupa. Beberapa kampung saat ini sedang mengalami ancaman penggusuran paksa seperti misalnya di Kebon Sayur, Ciracas dan juga Kapuk Poglar di Cengkareng. Pemprov DKI Jakarta perlu konsisten menjaga pelibatan aktif masyarakat dalam setiap kebijakan penataan kota.
7. Menjaga Kebhinekaan
Sejak awal terpilih sebagai Gubernur dan wakilnya, kubu Anies-Sandi memiliki masalah serius dengan isu kebhinekaan lantaran banyak pihak meyakini kemenangannya didasarkan pada propaganda politik identitas yang digulirkan kelompok intoleran. Berbagai kampanye yang didasarkan pada sentimen rasial terus menerus digulirkan hingga memicu maraknya persekusi terhadap kelompok minoritas. Parahnya, 100 hari kepemimpinan Anies-Sandi diawali dengan pernyataan kontroversial Anies dalam pidato pertamanya tentang pribumi dan non-pribumi yang justru mempertajam polarisasi dalam masyarakat.
Tentu saja ini merupakan preseden buruk Anies-Sandi dalam 100 hari pertamanya. Dari tahun ke tahun, DKI Jakarta telah memiliki rapor buruk mengenai persoalan kebhinekaan, baik dengan maraknya penutupan tempat ibadah hingga persekusi terhadap kelompok minoritas. Ke depannya, Anies-Sandi perlu menunjukan komitmen serius untuk merawat kebhinekaan di Jakarta baik melalui pembentukan regulasi yang tidak diskriminatif maupun pernyataan publik yang tidak menghasut atau berbau SARA.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Jakarta, 25 Januari 2018