LBH Jakarta mengecam sekaligus mengutuk keras kasus pembunuhan dan mutilasi 4 orang warga Papua di Kabupaten Mimika oleh 6 Anggota TNI dan 3 orang sipil merupakan kejahatan yang sangat kejam dan biadab. Diketahui bahwa sekarang 6 Anggota TNI dan 3 orang sipil tersebut sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Peristiwa tersebut merupakan bentuk Pelanggaran Hak untuk Hidup berdasarkan instrumen hukum dan hak asasi manusia (HAM) Nasional dan Internasional.
Terhadap hal tersebut kami berpandangan sebagai berikut:
Pertama, tindakan yang dilakukan oleh ke-6 anggota TNI tersebut merupakan tindak pidana umum, sehingga harus diproses di peradilan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.” Hal tersebut juga dikuatkan oleh Pasal 3 ayat (4) a TAP MPR No. VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Kami mendesak semuanya harus diproses dan diadili melalui proses peradilan yang adil, bebas dan tidak memihak, agar semua proses dapat dipantau oleh publik dan memastikan pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan bagi korban dan keluarganya serta mencegah terjadinya Impunitas.
Kedua, Selain itu proses pengungkapan kebenaran peristiwa pembunuhan 4 warga Papua ini juga harus melibatkan dan memastikan akses kepada Lembaga Negara Independen seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, atau jika diperlukan Pemerintah dapat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk memastikan semua proses berjalan dengan secara transparan dan akuntabel.
Ketiga, yang tidak kalah penting adalah mengenai rantai dan jejak kekerasan oleh aparat negara terhadap warga sipil di Papua bukan hanya terjadi sekali ini, kejadian ini hanya pengulangan dari kejadian-kejadian sebelumnya, masih kental diingatkan kita kejadian Pembunuhan Pendeta Yeremia, Penyiksaan yang seorang disabilitas oleh 2 Anggota TNI AU, bahkan Berdasarkan data penanganan kasus di Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM tahun 2020-2021, tercatat 480 kasus atau 41,31 persen dari total 1.182 kasus yang ditangani terkait dengan pelaksanaan kerja-kerja anggota Polri, tidak hanya itu sampai dengan Pelanggaran HAM Berat di Papua, misalnya Kasus Biak Berdarah Juli 1998, Kasus Wasior Berdarah Juni 2001, Kasus Wamena Berdarah April 2003, Kasus Universitas Cenderawasih Jayapura Maret 2006, Kasus Paniai Berdarah Desember 2014.
Kami juga menilai tidak berhentinya pelanggaran HAM di Papua merupakan dampak dari operasi militer yang dilakukan pasukan TNI secara ilegal karena pada dasarnya operasi untuk perang maupun bukan harus berdasarkan keputusan politik negara berdasarkan ketetapan presiden setelah berkonsultasi dengan DPR RI sebagaimana Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Keempat, Tragedi kemanusiaan ini harus juga menjadi perhatian serius Pemerintah dan DPR RI untuk melanjutkan reformasi peradilan militer dengan melakukan revisi sistematis atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang notabenenya adalah biang segala bentuk impunitas kejahatan yang dilakukan TNI-, langkah tersebut merupakan bentuk dari reformasi akses atas keadilan di Indonesia.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung:
Aprilia Lisa Tengker ([email protected])
Teo Reffelsen ([email protected])
M. Charlie Albajili ([email protected])
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.
Kredit: Foto dari Kompas.com