Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang 6 Aktivis Tahanan Politik Papua pada Jumat, 03 April 2020. Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sidang dilakukan secara virtual/teleconference, dimana para tahanan tetap berada di dalam rumah tahanan negara, sedangkan majelis hakim, jaksa penuntut umum dan kuasa hukum hadir di persidangan.
Persidangan dimulai pada pukul 14.00 WIB dengan pembacaan surat tuntutan. Tuntutan pertama dibacakan atas perkara No. 1305/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst dengan terdakwa Arina Elopere Als. Wenebita Gwijangge. Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan tuntutan pidana penjara selama 1 tahun 5 bulan dengan dasar Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tuntutan kedua dibacakan atas perkara No. 1304/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst dengan terdakwa atas nama Anes Tabuni Als. Dano Anes Tabuni. Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan tuntutan pidana penjara selama 1 tahun 5 bulan dengan Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP.
Sementara untuk terdakwa selanjutnya atas perkara No. 1303/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst atas nama Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait Als. Ambo dan Isay Wenda. 3 terdakwa yaitu Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait Als. Ambo masing-masing dituntut pidana penjara selama 1 tahun 5 bulan.
Pada persidangan sebelumnya, Jumat, 27 Maret 2020, majelis hakim mempersilahkan kuasa hukum pada persidangan selanjutnya untuk membacakan keterangan ahli secara tertulis bersamaan dengan agenda penuntutan dari jaksa penuntut umum pada hari Jumat (3/4). Hal ini dimintakan oleh kuasa hukum karena para ahli yang sebelumnya menyatakan dapat hadir, karena wabah pandemi Covid-19 menjadi tidak bisa hadir. Namun nyatanya majelis hakim tidak konsisten dengan agenda sidang yang sudah disepakati sebelumnnya (27/3). Agenda pembacaan tuntutan dan pembacaan keterangan ahli, karena adanya keberatan dari JPU. Akhirnya, disepakati pada sidang Jumat (3/4), pembacaan keterangan tertulis dari ahli, majelis hakim memberikan kesempatan kepada kuasa hukum para terdakwa untuk dibacakan pada saat agenda duplik dari kuasa hukum terdakwa.
Nelson Nikodemus Simamora, salah satu kuasa hukum para terdakwa Tahanan Politik Papua, melakukan protes terhadap terhadap majelis karena kesempatan yang diberikan kepada kuasa hukum untuk menghadirkan saksi meringankan maupun ahli untuk membuktikan fakta hukum dirasakan tidak adil dan tidak seimbang antara kesempatan jaksa penuntut umum dengan terdakwa yang diwakili oleh kuasa hukum. Jaksa penuntut umum diberikan kesempatan sebanyak 7 kali selama 6 minggu untuk menghadirkan saksi maupun ahli, sedangkan kuasa hukum hanya diberikan kesempatan 3 kali dalam waktu 2 minggu saja. Hal ini jelas merugikan hak terdakwa untuk mengusahakan dan mengajukan saksi-saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya sebagaimana Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tegas Nelson.
Akhirnya, pada sidang Jumat (3/4) disepakati sidang akan dilanjutkan pada hari Senin, 13 April 2020 dengan agenda pembacaan pledoi/pembelaan dari penasihat hukum terdakwa. Serta pembacaan keterangan ahli dari penasihat hukum terdakwa diberikan kesempatan pada saat pengajuan duplik secara tertulis.
Untuk informasi, ke-6 aktivis tahanan politik Papua, yaitu Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait dan Arina Elopere, ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pada 30-31 Agustus 2019 dengan tuduhan makar dan didakwa Pasal 106 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 110 ayat 1 KUHP karena menyampaikan pendapat di muka umum atau unjuk rasa pada tanggal 28 Agustus 2019 di seberang istana negara. Unjuk rasa tersebut mengusung tema “Mahasiswa Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militarisme Menolak segala bentuk Diskriminasi terhadap Orang Papua”, yang sejatinya dilatarbelakangi ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.