Adlun Fiqri, pria yang mengunggah video perilaku pungutan liar (pungli) oknum kepolisian di Ternate, Maluku Utara, memang sudah dibebaskan. Laporan terhadapnya juga sudah dicabut dari Polres Ternate. Namun kasus ini dinilai tidak cukup bila hanya sampai di sini.
Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh Tim Advokasi Pembela Kebebasan Berekspresi dan Tolak Kriminalisasi, Senin, 5 Oktober, di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta.
Berikut adalah poin-poin penting dalam kasus Adlun Fiqri yang disampaikan oleh para pembicara yang terdiri dari perwakilan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Jakarta, dan Savenet.
1. Kasus terungkap karena pemberitaan yang besar
Kasus Adlun Fiqri terungkap karena banyaknya pemberitaan di media massa dan media sosial.
Selain itu, aktivis di Ternate ini juga sangat informatif dalam memberikan perkembangan terkini. Namun apabila kasus ini terjadi di tempat lain, mungkin kasus kriminalisasi ini tidak dapat diketahui.
“Bayangkan jika kasus terjadi di daerah yang sulit terjangkau informasi, berapa banyak orang yang bisa dikriminalisasi lagi?” kata Putri dari KontraS saat menyampaikan keprihatinannya.
2. Adlun Fiqri bukan yang pertama
Kriminalisasi atas nama pencemaran nama baik sudah sering kali terjadi di Indonesia. Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) digunakan sebagai landasan hukum untuk menangkap anggota masyarakat yang mengemukakan kritiknya secara publik.
“Menurut catatan LBH Jakarta, tahun ini telah terjadi sebanyak 20 kasus kriminalisasi. Dan itu hanya di Jabodetabek,” kata Maruli dari LBH Jakarta.
Hal ini juga didukung oleh Damar dari Savenet. “Dalam tiga tahun ada 112 kasus yang dilaporkan ke kami, 35 kasus di tahun ini,” katanya.
3. Kriminalisasi bisa menimpa siapapun
Seperti yang dikemukakan oleh Putri, bahaya kriminalisasi dengan pasal pencemaran nama baik dapat terjadi bagi siapapun.
“Tidak hanya pada Adlun yang seorang mahasiswa, aktivis, tapi petani, buruh, dan lain-lainnya juga bisa menjadi korban kriminalisasi,” kata Putri.
Lebih lanjut, tindakan kriminalisasi ini dapat menakuti masyarakat. “Polisi telah menggunakan hukum sebagai alat untuk membungkam masyarakat yang kritis,” kata Maruli.
4. Polisi seharusnya berterima kasih
Pengunggahan video klip tindakan pungli dari salah satu polisi lalu lintas di Ternate seharusnya bisa dijadikan masukan bagi kepolisian.
“Tindakan Adlun ini merupakan respons dari warga negara yang mencintai negaranya sendiri, mencoba untuk melakukan perubahan di tingkat kepolisian,” kata Putri. Tindakan Adlun justru dapat membantu polisi untuk melakukan reformasi birokrasi di dalam institusinya.
“Seharusnya polisi berterima kasih kepada Adlun dan menjadikan hal tersebut sebagai bahan koreksi bagi pihak kepolisian,” kata Maruli dari LBH Jakarta.
Rekaman Adlun dapat dijadikan bukti awal bagi penelusuran lebih lanjut tindakan pungli yang masih banyak dilakukan oleh oknum kepolisian.
5. Amandemen UU ITE
Saat ini pemerintah sedang mengajukan revisi terhadap UU ITE.
“Pemerintah bersikeras untuk mengatur penghinaan dalam UU ITE, padahal saat yang bersamaan KUHP sedang dibahas di DPR,” tutur Erasmus.
Dengan banyaknya kriminalisasi atas nama penghinaan dan pencemaran nama baik, Tim Advokasi meminta pemerintah untuk menghapuskan pasal tersebut dari UU ITE. Selain itu, Tim Advokasi juga meminta agar mekanisme kontrol dan pengawasan dapat diperkuat melalui RUU Perubahan UU ITE dan rancangan KUHAP. (rappler.com)