Siaran Pers
Pada tanggal 25 Maret 2025, Gubernur Jakarta Pramono Anung menerbitkan Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Jakarta Nomor e-0001 Tahun 2025. Dalam Ingub tersebut, Pemprov Jakarta akan melaksanakan 40 program dalam 100 hari kerja sebagai kegiatan strategis daerah tahun 2025
Ada beberapa program yang kami perhatikan dan kami membaginya ke dalam lima isu besar Warga Jakarta saat ini, yaitu:
Pertama, persoalan hak atas tempat tinggal termasuk hunian yang layak. Dalam program “Gerak Cepat Penyelesaian Kampung Bayam dan Tanah Merah”, Pemprov Jakarta sempat melaksanakan seremoni penyerahan kunci Kampung Susun Bayam (KSB) kepada warga yang dahulu tergusur secara paksa karena proyek Jakarta International Stadium (JIS). Namun, Pemprov Jakarta kegiatan tersebut tidak dilakukan secara partisipatif dikarenakan tidak melibatkan warga lainnya yang ditempatkan sementara di Rusunawa Nagrak dan Rorotan. Sehingga, warga harus kembali melakukan unjuk rasa di KSB untuk hanya sekedar bertemu dengan Gubernur menagih janjinya sebagai pejabat publik. Terdapat 98 lebih warga yang belum kembali mendiami Kampung Susun Bayam (KSB). Ketika warga dijanjikan kembali, warga diwajibkan mendaftarkan diri sebagai pekerja JIS apabila ingin menempati KSB. Hal ini bertentangan dengan harapan yang dahulu pernah dibangun bersama warga oleh Gubernur sebelumnya bahwa KSB diserahkan kepada warga. Kebijakan baru tentang hunian yang disyaratkan untuk pekerja terkesan memaksakan tanpa mempertimbangkan kerentanan yang akan dihadapi warga. Skema tersebut membuat mereka sangat rentan untuk kembali tergusur sewaktu-waktu apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai pekerja yang ditetapkan oleh JIS, sekaligus kehilangan pekerjaan mereka. (partisipasi yang utuh)
Selain itu, penyelesaian dalam proses penempatan kembali Warga Kampung Bayam tidak sesederhana seremonial penyerahan kunci. Masalah lanjutan terjadi karena skema penghunian dipaksakan menjadi hunian pekerja, di mana warga yang akan ditempatkan di KSB harus mengikuti serangkaian proses rekrutmen menjadi pekerja JIS. Padahal, warga belum mendapatkan penjelasan mengenai jaminan keamanan bermukimnya (security of tenure).
Konflik agraria di Tanah Merah juga belum terselesaikan sejak tahun 1960-an. Padatnya pemukiman, perebutan tata ruang, dan ancaman bahaya dari Depo Pertamina Plumpang (PT Pertamina) seakan mengucilkan hak warga untuk mendapatkan hak atas tanahnya. Padahal warga sudah tinggal dan berkembang di sana sangat lama sebelum adanya Depo Pertamina Plumpang.
Tidak hanya kedua kasus di atas yang perlu menjadi prioritas. Sepanjang Bulan Januari sampai dengan April 2025, setidaknya LBH Jakarta mendapatkan 5 (lima) pengaduan kasus penggusuran yang sampai saat ini masih parsial penanganannya bahkan tidak diurus oleh Pemprov Jakarta. Persoalan penggusuran juga terjadi diakibatkan adanya Pergub DKI 207/2016 tentang Penertiban Pemakaian/penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak, yang melegitimasi penggusuran paksa dengan menggunakan kekerasan dari aparat. Permasalahan ini mencerminkan buruknya Pemprov Jakarta dalam melindungi warga dan menyelesaikan permasalahan agraria yang menyangkut hajat hidup warganya sendiri. Penguasaan tanah oleh negara seharusnya diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat. Bukan untuk menghimpit masyarakat.
Kemudian terhadap program “Penguatan Rusun untuk Warga”, persoalan rumah susun yang saat ini berlarut adalah biaya sewa yang semakin naik, pembatasan jangka waktu hunian, pemenuhan fasilitas dasar serta sarana dan prasarana. Pemprov Jakarta harus mempertimbangkan kondisi perekonomian setiap penghuni rusun. Terkait pengelolaan fasilitas dasar yang layak, masih ditemukan adanya bangunan-bangunan yang rusak serta adanya kerusakan jaringan listrik, air, dan pembuangan limbah. Selain itu, permasalahan rusun lainnya adalah masih terdapat rusun yang tidak inklusif, yakni kurang ramah anak, orang lanjut usia, dan kelompok rentan lainnya.
Masalah lain adalah adanya satuan rumah susun yang semula didesain sebagai Kampung Susun, seperti KSB yang dipaksakan statusnya menjadi Hunian Pekerja Penunjang Operasional (HPPO) oleh JakPro. HPPO tersebut tidak jelas klasifikasinya berdasarkan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Semestinya, program ini jangan hanya sekedar penyuluhan penguatan warga, melainkan perlu disertai dengan perbaikan sarana dan prasarana, menetapkan biaya sewa murah, mencabut kebijakan pembatasan masa waktu hunian, dan membangun sistem yang terintegrasi bagi warga-warga yang tergusur untuk dapat menghuni rusun dengan segera. Sampai saat ini, LBH Jakarta masih mendapatkan pengaduan-pengaduan penghuni rusun seperti yang diuraikan di atas.
Kedua, dalam persoalan hak atas lingkungan hidup dan krisis iklim. Program “Gerakan Penanaman Mangrove dan Vegetasi Pengendali Polusi”. Berdasarkan perbandingan Peta Mangrove Nasional Tahun 2021 dengan 2025 yang dipublikasikan oleh Kementerian Kehutanan, terjadi penurunan luas mangrove existing Jakarta yaitu dari 682 Ha (2021) menjadi 608 Ha (2025). Mangrove tidak serta merta hilang luasannya. Namun, ada faktor-faktor struktural sehingga pengendalian dan pengelolaan mangrove menjadi melemah. Dalam berbagai penelitian, berkurangnya luas kawasan mangrove disebabkan oleh alih fungsi lahan dan pencemaran. Seharusnya, penghijauan area pesisir dengan mangrove adalah bagian dari kewajiban Negara untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Pantas apabila Jakarta terancam oleh banjir rob. Padahal, mangrove sangat bermanfaat untuk mengatasi banjir rob dan abrasi. Dalam pengendalian polutan, LBH Jakarta dalam melakukan pendampingan advokasi terhadap Warga Pulau Pari menemukan adanya tindakan perusakan tegakan mangrove yang dilakukan oleh PT. Central Pondok Sejahtera. Perusakan ini turut disertai kerusakan ekosistem laut seperti terumbu karang dan padang lamun. Padahal, warga Pulau Pari bersama wisatawan yang berkunjung telah menanam mangrove secara swadaya di wilayah Gugusan Pulau Pari dengan total penanaman kurang lebih 40.000 batang.
Menyoal polusi udara, sebenarnya Warga Jakarta telah memenangkan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) terkait polusi udara Jakarta berdasarkan Putusan MA Nomor 2560 K/Pdt/2023 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sejak 21 November 2023. Amar dalam putusan tersebut menghukum Gubernur DKI Jakarta sebagai Tergugat V, yang hingga saat ini belum ada tindakan konkret dari pihak Gubernur DKI Jakarta untuk melaksanakan amar putusan tersebut. Bahkan terakhir, Koalisi Ibukota telah menyampaikan permohonan informasi terkait tindak lanjut pelaksanaan amar putusan a quo yang belum dijawab hingga kini.
Kemudian, dalam program “Ekosistem Pengendalian Banjir” belum terlihat adanya kebaruan untuk menyelesaikan akar permasalahan, dikarenakan sejak dahulu Pemprov Jakarta telah memiliki program pengendalian banjir yang serupa yang sampai saat ini tidak berjalan efektif. Banjir selalu menimpa warga Jakarta. Maka yang jadi pertanyaan adalah, apa benar akan menyelesaikan permasalahan banjir? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), akar permasalahan banjir di Jakarta adalah penurunan muka tanah (land subsidence), perubahan tata guna lahan (land use change), kenaikan muka air laut, serta fenomena cuaca ekstrem. Penurunan muka tanah berkontribusi hingga 145% terhadap risiko banjir. Sedangkan tata guna lahan yang tidak terkendali juga meningkatkan risiko banjir hingga 12%. Persoalan banjir di Jakarta berkaitan dengan tata ruang yang mengikis daerah resapan air, hilangnya daerah resapan, serta keperluan pembangunan gedung/industri yang mengonsumsi banyak air tanah.
Kemudian terhadap program “Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan”, pengelolaan sampah Jakarta terkandung dalam Pergub DKI 50/2016 tentang Pembangunan dan Pengoperasian Fasilitas Pengelola Sampah di Dalam Kota atau Intermediate Treatment Facilities (ITF). Pemprov Jakarta menggadang-gadang bahwa penggunaan teknologi ITF ditujukan agar pengelolaan sampah bisa turut menopang pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup masa kini tanpa mengurangi hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang (continuing without lessening). Akan tetapi, hingga hari ini permasalahan sampah di Jakarta masih belum juga terselesaikan.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta tahun 2023, volume sampah di Jakarta pada tahun 2022 setiap harinya berjumlah 7.543,42 (Tujuh ribu lima ratus empat puluh tiga koma empat dua) Ton yang terbagi dari jenis sampah organik, anorganik, dan bahan beracun dan berbahaya.Pertanyaannya adalah apakah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mengelola sampah organik, anorganik, dan bahan beracun dan berbahaya melalui Pergub DKI 50/2016. Persoalan permasalahan sampah merupakan isu multisektor yang berdampak dalam berbagai aspek di masyarakat dan ekonomi. Pengelolaan sampah memiliki keterkaitan dengan isu kesehatan, perubahan iklim, pengurangan kemiskinan, keamanan pangan dan sumberdaya, serta produksi dan konsumsi berkelanjutan. Terlebih pada tanggal 28 Juli Tahun 2022, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah resolusi bersejarah, yang menyatakan, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Sehingga hal ini perlu dijamin penyelenggaraannya agar tidak menimbulkan persoalan lingkungan yang baru.
Ketiga, persoalan hak atas memperoleh kesempatan kerja dan dan kesejahteraan pekerja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, pengangguran di Jakarta menempati peringkat keempat nasional dengan presentase 6,21%, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sebesar 4,91%. Kemudian, Kemnaker mencatat 17.085 Warga Jakarta terkena PHK sepanjang tahun 2024. Persoalan ini menunjukan pemerintah belum menjamin hak warga untuk memperoleh pekerjaan. Dalam program “Job Fair di 44 Kecamatan 3 (Tiga) Bulan Sekali”, kami menilai masih terlihat seremonial belaka. Jangan sampai program ini hanya sekedar simbolis. Karena, kalau hanya mengadakan Job Fair, perguruan tinggi pun bisa. Persoalan yang lebih fundamental adalah, bagaimana agar Job Fair harus disertai kepastian untuk bekerja secara langsung. Pemprov DKI Jakarta perlu mengatur program Job Fair agar dilekatkan dengan kepastian untuk mendapatkan pekerjaan (link and match).
Kemudian terhadap program “Kemudahan Pendaftaran PPSU” Permasalahan rekrutmen PPSU tidak hanya pada perubahan syarat kerja. Melainkan mekanisme rekrutmennya yang perlu dijamin secara transparan dan akuntabel sehingga terhindar dari praktik pungli atau titipan. Pemprov DKI Jakarta juga perlu menjamin penanganan hukum apabila ditemukan adanya pungli. Selain itu, kesejahteraan keluarga dan penghormatan terhadap Petugas PPSU perlu dijamin oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai suatu kebijakan yang integral terhadap Petugas PPSU.
Keempat, persoalan perlindungan hukum warga secara non-diskriminatif. Dalam program “Security CCTV di Permukiman”, wacana program ini diproyeksikan untuk menurunkan angka kriminalitas. Namun, dalam penerapan program ini harus tunduk pada prinsip-prinsip pelindungan data pribadi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2022, masyarakat perlu mendapatkan akses hak untuk mengakses, memperbaiki, dan menghapus data pribadi mereka. Mereka juga berhak untuk menarik persetujuan pemrosesan data, mengajukan keberatan terhadap pemrofilan, dan mengajukan ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data CCTV. Hal ini perlu diperhatikan agar tidak ada tindakan penyalahgunaan dan meminimalisir kebocoran data pribadi warga oleh Pemprov DKI Jakarta.
Selain itu, CCTV di permukiman juga dapat mengancam hak privasi Warga Jakarta. Jika, CCTV menyorot tiap-tiap rumah, aktivitas dan wajah warga yang terkesan adanya pengawasan berlebihan (over surveillance). Program ini perlu dimusyawarahkan dengan pelibatan warga secara partisipatif, baik ketika penentuan lokasi pemasangan, penggunaan, perlindungan hak-hak warga, dan sanksi terhadap operator yang menyalahgunakan data CCTV tersebut.
Kelima, persoalan transparansi dan akuntabilitas aparatur pemerintahan. Dalam program “Inisiasi Jakarta Collaboration Fund”, program ini diproyeksikan untuk pengelolaan dana investasi yang diperuntukkan bagi pembangunan dan kesejahteraan Warga Jakarta. Program ini dianggap sebagai pendapatan baru selain ketergantungan Jakarta terhadap pajak dan retribusi. Namun di lain sisi, Warga Jakarta perlu mengetahui akuntabilitas dan transparansi program ini mengingat skenario program ini bersumber dari APBD. Sehingga, Pemprov DKI Jakarta perlu membuka secara luas ke publik mengenai skema, peruntukan, dan realisasi program ini.
Berdasarkan lima isu besar dalam program-program yang telah kami ulas diatas. Maka kami mendesak Pemprov DKI Jakarta agar:
- Mengevaluasi Perencanaan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Jakarta untuk memprioritaskannya terhadap kawasan hijau dan permukiman yang sangat dibutuhkan oleh Warga Jakarta;
- Memenuhi jaminan hak atas tempat tinggal yang layak termasuk tidak melakukan atau membiarkan terjadinya penggusuran secara paksa yang mengancam Warga Jakarta;
- Menjamin perlindungan hukum secara non-diskriminatif bagi Warga Jakarta dan kelompok rentan yang menghadapi permasalahan hukum;
- Melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan dalam partisipasi publik yang bermakna;
- Menjamin transparansi dan akuntabilitas program-program yang berkaitan dengan APBD dan pengumpulan dana masyarakat;
Mengevaluasi program-program yang bersifat seremonial belaka dan memfokuskan program-program yang dapat berdampak langsung terhadap kebutuhan Warga Jakarta.
Jakarta, 22 April 2025
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
Sherly Aplonia – Persaudaraan Warga Kampung Bayam
Ronal Paty – Gerakan Warga Kober Menteng Pulo II
Alif Fauzi Nurwidiastomo – LBH Jakarta
Nafisa – Urban Poor Consortium
Minawati – Jaringan Rakyat Miskin Kota