Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
No. 235/Rilis-Pers/LBH/VI/2025
“498 Tahun Usia Jakarta: Momentum Evaluasi dan Refleksi Pemimpin Jakarta Wujudkan Kota yang Berkeadilan”
Pada 22 Juni 2025, Jakarta memasuki usia ke-498 dengan tema perayaan “Jakarta Kota Global dan Berbudaya”. Perayaan ini tentu tak menihilkan berbagai macam ragamnya permasalahan di Jakarta yang seringkali menjadi perhatian bersama. Peringatan ulang tahun Jakarta di tahun ini merupakan titik balik evaluasi kepemimpinan Pram – Rano untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota yang berkeadilan bagi warganya, setelah dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 20 Februari 2025 lalu.
Di tengah meriahnya perayaan ulang tahun Jakarta dengan berbagai seremonial yang digelar oleh Pemprov DKI Jakarta, LBH Jakarta melihat bahwa masih terdapat beragam permasalahan mendasar dan sangat krusial yang perlu dituntaskan secara responsif oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Permasalahan ini bersinggungan langsung dengan penikmatan standar kehidupan layak yang berhak didapatkan setiap warga negara dan wajib dipenuhi oleh pemerintahnya.
Mengingat janji Pram – Doel saat kampanye dan program 100 hari kerja dalam Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Jakarta Nomor e-0001 Tahun 2025, LBH Jakarta memberikan catatannya sebagai berikut:
Pertama, persoalan hak atas tempat tinggal termasuk hunian yang layak;
Upaya pemenuhan backlog perumahan masih melalui cara konvensional dengan skema pengembangan properti yang menyebabkan konvensi hunian menjadi komoditas investasi, contohnya hunian Transit Oriented Development di beberapa stasiun KRL yang tidak aksesibel bagi warga. Di saat yang sama, terdapat banyak bangunan mati yang tidak di re-utilisasi sebagai hunian kolektif. Di samping itu, lemahnya regulasi UU Rumah Susun dan kebijakan reforma agraria dalam melindungi dan mengatur hak penghuni dalam mendapatkan hunian layak justru menjadi sebuah medan pertempuran. Masalah seperti pemberian pengelolaan yang tidak diberikan kepada penghuni hingga penahanan hak kepemilikan kolektif menjadi permasalahan yang terus berulang-ulang yang dihadapi oleh warga kampung kota, bahkan ketika sudah dibangun menjadi Satuan Rumah Susun (Sarusun).
Pada kasus yang menimpa Kampung Susun Bayam misalnya, Pemprov DKI Jakarta sempat melaksanakan seremoni penyerahan kunci Kampung Susun Bayam (KSB) kepada warga yang dahulu tergusur secara paksa karena proyek Jakarta International Stadium (JIS). Namun, oleh Pemprov DKI Jakarta kegiatan tersebut tidak dilakukan secara partisipatif dikarenakan tidak melibatkan warga lainnya yang ditempatkan sementara di Rusunawa Nagrak dan Rorotan. Sehingga, warga harus kembali melakukan unjuk rasa di KSB untuk hanya sekedar bertemu dengan Gubernur menagih janjinya sebagai pejabat publik.
Ancaman penggusuran ruang hidup tanpa melalui proses peradilan juga masih menghantui warga Jakarta dengan masih diberlakukannya Pergub DKI Jakarta No. 207/2016. Proses pencabutan aturan ini belum ditindaklanjuti kembali oleh Pram – Doel di periode kepemimpinannya, perkembangan terakhir proses masih terkendala “ping-pong” antara Pemprov DKI Jakarta dengan Kemendagri.
Kedua, persoalan hak atas lingkungan hidup dan krisis iklim;
Pasca adanya Putusan MA Nomor 2560 K/Pdt/2023 yang memenangkan warga dalam Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) terhadap polusi udara Jakarta, hingga hari ini belum ada upaya Pram – Doel dalam melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tersebut. Status Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) masih jauh di bawah ambang batas sehat bagi warga, upaya teknis yang telah dilakukan tidak dapat diukur secara ilmiah, hasil pengawasan polusi udara yang tidak terbuka kepada warga DKI Jakarta, dan penertiban kebijakan yang tidak didasarkan pada kebutuhan warga DKI Jakarta. Status, DKI Jakarta sebagai kota dengan udara terpolutif di dunia acapkali masih melekat sebagai identitas bagaimana kualitas udara di DKI Jakarta.
Gubernur Pram sudah memberikan pernyataan akan menindaklanjuti arahan Presiden, terkait pembangunan Giant Sea Wall di teluk Jakarta sepanjang 19 KM. Rencana ini tentunya tidak boleh diambil terburu-buru, karena membutuhkan kajian komprehensif mengenai dampak pembangunan terhadap lingkungan dan sosial masyarakat pesisir dan pulau kecil di utara Jakarta. Mitigasi bencana dan solusi berbasis lingkungan (nature-based solution) luput diperhatikan oleh Pemprov DKI Jakarta, yang menutup mata atas adanya kegiatan perusakan ekosistem laut (abnormally dangerous activity) di Pulau Pari sebagai pulau kecil. Padahal, ekosistem laut khususnya mangrove memiliki peran penting dalam perlindungan pesisir dan mitigasi krisis iklim (carbon sequestration).
Kerusakan ekosistem laut di Pulau Pari juga menjadi bukti tidak ada keseriusan melakukan pembangunan yang mementingkan keberlanjutan lingkungan hidup. Sejak Juli 2024, Warga Pulau Pari dihadapkan pada konflik atas pembangunan cottage apung dan dermaga wisata di wilayah Gugusan Lempeng, Pulau Pari. Selama ini wilayah tersebut telah dijaga dan dirawat oleh warga secara swadaya dan kolektif sebagai upaya melestarikan ekosistem lautnya dari ancaman krisis iklim yang dapat menimbulkan abrasi dan hilangnya ruang hidup warga Pulau Pari. Namun hingga saat ini, Pemprov DKI Jakarta melakukan pembiaran sehingga menyebabkan konflik antar warga dan korporasi semakin meruncing. Persoalan ini yang bagi kami Pram – Doel tidak peduli dengan persoalan lingkungan dan krisis iklim, termasuk ruang hidup.
Ketiga, persoalan kesejahteraan pekerja di tengah arus informalisasi Jakarta;
Jakarta secara berangsur-angsur menjadi kota informal, per tahun 2023 sebanyak 1.838.096 dari jumlah pekerja di Jakarta merupakan pekerja informal (BPS, 2024). Hal ini menjadi tantangan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan perhatian serius bagaimana menjamin hak-hak pekerja di sektor informal dapat terlindungi.
Pekerja informal di Jakarta harus mendapatkan jaminan dalam menambah penghidupannya dengan terhindar dari ancaman penggusuran dan pengusiran dalam penataan ruang kegiatan ekonomi, hingga akomodasi agar pekerja informal tidak merasa terancam oleh “penertiban”. Selain itu, agar menjamin tidak adanya kasus penolakan pencatatan serikat ojek online (ojol) terlepas karena hubungan kerja non-standar (gig worker), kemudahan pencatatan serikat atau organisasi ojol harus dapat terjamin oleh Dinas Ketenagakerjaan pada Pemprov DKI Jakarta.
Keempat, persoalan bantuan hukum dan perlindungan hukum warga secara non-diskriminatif;
Sebagai daerah di Indonesia yang menjadi pionir dalam memberikan akses bantuan hukum bagi kelompok miskin dan rentan, sangat ironis ketika Jakarta belum juga memiliki Peraturan Daerah mengenai penyelenggaraan bantuan hukum bagi warganya. Pemprov DKI Jakarta harus memprioritaskan pembahasan dan pengesahan Ranperda Bantuan Hukum yang telah bergulir di periode sebelumnya agar dapat disahkan sesegera mungkin guna menjawab kebutuhan bantuan hukum bagi warga Jakarta.
Jawaban atas penyelesaian permasalahan ini belum terlihat dalam janji kampanye dan pelaksanaan program 100 hari kerja Pram – Doel. Hadirnya Perda Bantuan Hukum di Jakarta diharapkan mampu memberikan akses bantuan hukum dan dan integrasi layanan bagi warga yang berhadapan dengan hukum, yang turut mencakup korban dan kelompok rentan.
Kelima, Persoalan Ruang Aman Mobilitas Perkotaan dan Kelayakan Transportasi Publik yang Berkelanjutan;
Urusan kualitas dan aksesibilitas transportasi publik serta seluruh sarana maupun prasarana lainnya yang berkaitan dengan mobilitas warga, masih menjadi persoalan dalam keseharian warga Jakarta. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya 2.370 laporan warga mengenai jalan yang dihimpun Biro Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta pada Juli 2024.
Kualitas dan aksesibilitas transportasi publik bagi kelompok rentan serta penyandang disabilitas pun jauh dari kata ideal, karena masih dengan mudah ditemukan titik-titik transit seperti halte, stasiun, dan terminal yang tidak memiliki fasilitas ramah penyandang disabilitas seperti lift, ramp, dan guiding block, yang penting keberadaannya bagi para penyandang disabilitas. Kasus terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan di transportasi publik, selain itu juga masih terjadi. Transportasi umum merupakan salah satu tempat paling banyak terjadinya pelecehan seksual berdasarkan catatan Komnas Perempuan pada 2023. Sehingga, harus menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta sebagai penyelenggara transportasi publik perkotaan.
Kondisi perlindungan hak pejalan kaki dalam melakukan mobilitas perkotaan di Jakarta, juga turut termarjinalkan. Menurut catatan dari Koalisi Pejalan Kaki pada 2023, dari total ruas jalan sepanjang 7000 KM yang mengular di Jakarta, hanya sekitar 8, 71% ruas tersebut yang memiliki trotoar atau jalur pejalan kaki, dan nyatanya hingga kini kondisi tersebut masih tidak jauh berbeda. Trotoar yang ada selain itu banyak yang jauh dari kata layak, sebagai akibat dari sempitnya trotoar, digunakannya trotoar oleh kendaraan bermotor, hingga kondisi trotoar yang tidak rata maupun berlubang. Belum lagi persoalan terbaru yakni pembangunan LRT fase 1B, MRT fase 2A dan Giant Sewerage di beberapa titik yang justru memangkas keberadaan trotoar.
Berangkat dari beberapa catatan permasalahan di atas, momentum ulang tahun Jakarta ke-498 ini diharapkan dapat menjadi kesempatan evaluasi dan refleksi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyelesaikan beragam permasalahan yang melekat dan menjawab pertanyaan apakah DKI Jakarta merupakan kota “Global dan Berbudaya” dengan beragam permasalahan berdimensi pelanggaran hak asasi manusia yang mengiringi.
Jakarta, 22 Juni 2025
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
1. M. Fadhil Alfathan Nazwar (Direktur);
2. Alif Fauzi Nurwidiastomo (Kepala Bidang Advokasi).