Persidangan Pengamen Cipulir yang dituduh membunuh berakhir antiklimaks kemarin (16/1). Setelah proses hukum yang penuh lika-liku selama setengah tahun lebih, Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1e Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dihukum pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun.
Kejanggalan putusan/vonnis ini dapat dilihat dari hal-hal berikut: Pertama, putusan yang pertama kali diketuk di awal tahun ini (No. 1/Pid.B/2014/PN.Jkt.Sel) bisa dikatakan putusan sesat, karena hanya melegitimasi BAP Penyidik yang dibuat secara sesat pula. Mengapa sesat? Ini karena BAP Penyidik dibuat dengan kondisi Para Terdakwa sudah babak-belur dipukul, ditendang, dan disetrum oleh Penyidik untuk mengaku, baru kemudian Para Terdakwa diambil keterangannya. Di persidangan dengan mudahnya Majelis Hakim menyatakan bahwa polisi tidak menyiksa karena polisi yang dipanggil ke persidangan menyangkal telah terjadi penyiksaan. Padahal, polisi yang dihadirkan memang bukan polisi yang menyiksa. LBH Jakarta sudah meminta agar seluruh Penyidik yang ada dalam sprindik untuk dihadirkan, tapi Majelis Hakim enggan memerintahkan.
Kedua, keterangan Iyan Pribadi als Njaw, pelaku sebenarnya yang diringkus lalu dihadirkan di persidangan dikesampingkan begitu saja oleh Majelis Hakim dengan alasan Iyan Pribadi berada dalam keadaan mabuk saat kejadian dan tidak melihat kejadian pembunuhan yang sebenarnya dilakukan oleh Khairudin Hamzah als Brengos dan Jubaidi als Jubai. Padahal, pada saat kejadian memang korban Dicky Maulana dan ketiganya berada dalam keadaan mabuk. Iyan Pribadi memang tidak melihat kejadian pembunuhan, tapi ia melihat rangkaian tindak pidana ketika korban dijebak, mendengar korban berteriak “Astaghfirullah al azim” ketika dihabisi, dan menjual motor korban Yamaha Mio Soul warna merah. Iyan Pribadi tidak dapat dikesampingkan begitu saja karena ia turut membantu melakukan tindak pidana dan memenuhi kriteria saksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 KUHAP. Ketiga, bukankah saksi verbalisant dan saksi penangkap yang tidak melihat terjadinya tindak pidana? Mengapa mereka tidak dikesampingkan pula?
Ketiga, yang paling memprihatinkan, Majelis Hakim secara culas tidak menyebutkan orang tua korban, Zainal Arifin dalam pertimbangannya. Padahal, orang tua korban dihadirkan oleh Penuntut Umum dan menyatakan bahwa korban Dicky Maulana bukanlah pengamen, pergi dari rumah untuk mencari adiknya sekitar pukul 00.00 WIB, Minggu, 30 Juni 2013 dengan menggunakan sepeda motor Yamaha Mio Soul warna merah, dan sampai sekarang sepeda motor itu hilang entah ke mana.
Keempat, keterangan orang tua korban berkesesuaian dengan keterangan Iyan Pribadi yang menyatakan bahwa korban dibunuh oleh Brengos dan Jubai sekitar pukul 02.00 WIB di kolong jembatan Cipulir untuk kemudian diambil sepeda motornya. Korban kemudian bisa bertahan hidup sampai pukul 09.00 WIB paginya, sebagaimana dinyatakan oleh Ahli, dr. Ferryal Basbeth, SPF hingga ditemukan oleh Para Terdakwa. Namun Majelis Hakim ternyata “lebih senang” menggunakan BAP Penyidik. Ini adalah pelanggaran terhadap Pasal 185 KUHAP.
Putusan/vonnis terhadap pengamen Cipulir ini sekali lagi membuktikan bahwa Pengadilan tidak bisa diandalkan oleh para pencari keadilan (justitiabelen) yang miskin, buta hukum, dan tertindas dan para Hakim yang mulia lebih suka mencari kebenaran formil daripada kebenaran yang hakiki.
LBH Jakarta tentu saja akan melakukan perlawanan terhadap putusan ini dengan cara melakukan upaya hukum Banding dan mengadukan kejanggalan-kejanggalan dalam putusan ini kepada Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung.
Jakarta, 17 Januari 2014
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Kontak: Muhamad Isnur: +6281510014395, Nelson: +6281396820400 , Joge: +6287788326996.