Hari ini kita peringati bersama sebagai Hari Anti Penyiksaan sedunia. Hari bersejarah dimana Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) bersama Negara-negara pihak sepakat mendeklarasikan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi tersebut pada tanggal 28 September 1998 melalui UU No. 5 tahun 1998 dan karenanya menjadi Negara Pihak yang tunduk pada Konvensi tersebut
Ironisnya, 22 tahun pasca meratifikasi konvensi, narasi tentang Kasus Penyiksaan dan impunitas terhadap para pelakunya di Indonesia terus saja berulang. Praktik Penyiksaan masih terus terjadi bahkan dengan mengatasnamakan penegakan hukum dan ketertiban umum. Dokumen ratifikasi yang ada ternyata tidak cukup untuk menghentikan praktik penyiksaan oleh aparat dan pejabat publik.
Dalam beberapa peristiwa aksi massa besar pada tahun 2019 lalu misalnya seperti Aksi 21-22 Mei, hingga Aksi #ReformasiDikorupsi, para demonstran banyak yang ditangkap dan ditahan, dan diduga kuat sebagiannya mengalami praktik penyiksaan oleh aparat penegak hukum. Dalam catatan Tim Advokasi untuk Demokrasi terdapat 390 orang peserta aksi yang melapor sebagai korban, dan telah melaporkan adanya penangkapan dan penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian. Survey LBH Jakarta terhadap ABH di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di wilayah Jakarta sepanjang tahun 2018 sampai dengan Mei 2019, ditemukan 20 anak yang menjadi korban penyiksaan dalam proses penyidikan di kepolisian. Temuan ini menunjukkan bahwa belum ada perubahan perilaku aparat penegak hukum dalam praktik penyiksaan. Bahkan praktik keji penyiksaan juga dilakukan terhadap anak sebagai kelompok rentan yang mestinya dilindungi dari praktik penyiksaan.
Dalam kurun 3 (tiga) tahun terakhir ini juga, LBH Jakarta mendapatkan pengaduan kasus mengenai praktik penyiksaan yang dialami warga sebanyak 29 kasus. Dari 29 kasus tersebut, jumlah pengaduan kasus penyiksaan terbanyak masuk pada tahun 2019, dimana ada 13 kasus penyiksaan yang diadukan ke LBH Jakarta. Kebanyakan dari kasus yang diadukan, praktik penyiksaan dilakukan oleh aparat penegak hukum kepada warga atau yang menjadi Tersangka ketika dalam proses pemeriksaan BAP. Penyiksaan dilakukan rata-rata dengan motif untuk mengejar dan mendapatkan pengakuan dari warga agar dapat ditetapkan sebagai Tersangka.
Hal ini tentunya menjadi sebuah tragedi, dimana penegakan hukum pidana yang semestinya bernafaskan semangat keadilan dan kepatuhan hukum, justru ditegakkan dengan cara-cara melawan hukum oleh institusi yang menyandang titel sebagai “aparat penegak hukum”. Akibatnya yang terjadi adalah warga menjadi korban kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, dan warga mengalami dampak kerusakan fisik maupun psikis akibat penyiksaan.
LBH Jakarta menilai ada beberapa penyebab mengapa praktik penyiksaan terus terjadi di Indonesia. Pertama, Pemerintah tidak serius mendorong kebijakan dan regulasi sistematik anti penyiksaan. Aturan hukum yang tegas untuk mencegah dan menindak praktik penyiksaan sangat diperlukan. Penyiksaan sebagai tindak pidana yang diancam dengan hukuman berat dalam RKUHP yang sesuai dengan konvensi anti penyiksaan dan revisi KUHAP yang memastikan hak atas bantuan hukum dan mekanisme pencegahan penyiksaan sangat diperlukan. Tidak hanya itu, perlu ada regulasi khusus yang mengatur tindakan penyiksaan sebagai tindak pidana dalam RKUHP dan larangannya dalam KUHAP. Hingga saat ini Indonesia juga belum meratifikasi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan (Optional Protocol Convention Against Torture). Protokol ini penting untuk diadopsi dan disahkan, agar Indonesia memiliki mekanisme dan sistem pemantauan penahanan-penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia. Diberlakukannya protokol opsional juga dapat memungkinkan terbentuknya sistem kunjungan reguler oleh badan internasional dan nasional ke tempat penahanan atau penghukuman, guna mencegah penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Sejauh Ketentuan Pemidanaan Praktik Penyiksaan dalam RKUHP dan RKUHAP tidak diakomodir serta protokol Optional tidak diadopsi, maka penghapusan praktik penyiksaan oleh Kepolisian di Indonesia nampaknya masih akan menjadi angan-angan semata.
Kedua, Tidak efektifnya mekanisme pengawasan dan penindakan internal Institusi Penegak hukum. Meskipun institusi aparat penegak hukum memiliki sejumlah aturan dan standar penanganan kasus, namun mekanisme pengawasan internal untuk mencegah dan menindak praktik penyiksaan aparat penegak hukum masih sangat lemah. Akibatnya, masih langka pelaku penyiksaan diberikan sanksi yang tegas atau bahkan sanksi pidana. Yang jamak ditemui, pelaku hanya mendapatkan sanksi ringan berupa pelanggaran etik dan disiplin yang sifatnya berimbas pada masalah jenjang karirnya saja. Seperti halnya saat ini dimana kepolisian memiliki aturan yang baik seperti Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, namun ternyata “nihil dalam praktik”.
Ketiga, Masih melembaga dan terstrukturnya tindakan penyiksaan ini diduga kuat disebabkan juga oleh masih lemahnya pengawasan dan pencegahan tindak-tindak penyiksaan oleh Lembaga Pengawas Penegak Hukum (Komnas HAM, Komisi Yudisial, LPSK, Komisi Kejaksaan, Kompolnas) maupun oleh Masyarakat. Meski sudah ada sejumlah instrumen hukum, namun hingga kini pencegahan tindak penyiksaan belum efektif. Masyarakat sendiri masih belum aktif melaporkan dan mengajukan upaya hukum terhadap kasus-kasus penyiksaan.
Keempat, Kejaksaan RI sebagai instansi yang memiliki kewenangan pengendalian terhadap perkara (Dominus Litis) belum memaksimalkan perannya dengan baik untuk memeriksa perkara dan mencegah perkara-perkara di Kepolisian yang memiliki dimensi penyiksaan dalam proses pemeriksaannya di tingkat Kepolisian. Padahal bila kewenangan ini dimaksimalkan, Kejaksaan RI dapat mendorong agar perkara yang diusut lewat proses penegakan hukum secara melawan hukum untuk tidak diperkarakan dan diputus di Pengadilan. Ini untuk meminimalisir potensi adanya putusan pengadilan yang justru melawan semangat keadilan.
Kelima, dalam praktik persidangan di pengadilan-pengadilan yang ada di Indonesia, sebagian besar hakim seringkali tidak mempertimbangkan langkah “pencabutan BAP” terdakwa karena ia menjadi korban penyiksaan. Langkah “pencabutan BAP” baik sebelum persidangan maupun saat persidangan harus menjadi pertimbangan, karena langkah tersebut kerap kali dilakukan oleh Terdakwa karena dipaksa mengaku melakukan tindak pidana yang dituduhkan saat memberikan keterangan pada BAP. Bila hakim sungguh-sungguh menggali kebenaran materiil dan formil di persidangan, semestinya hakim melakukan pemeriksaan lebih jauh terkait dugaan adanya penyiksaan. Tidak hanya itu, hakim juga mesti mempertimbangkan keterangan terdakwa yang menjadi korban penyiksaan oleh aparat penegak hukum. Hal ini dilakukan agar hakim melaksanakan prinsip exclusionary rules dalam menyortir bukti-bukti yang menjadi pertimbangan mengadili perkara, dimana bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterima pada pengadilan.
Berdasarkan catatan-catatan yang disebutkan diatas, maka LBH Jakarta mendesak agar:
-
Negara Republik Indonesia cq. Pemerintah untuk meratifikasi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan (Optional Protocol Convention Against Torture) demi membangun sistem dan kebijakan pencegahan praktik penyiksaan secara serius;
-
Negara Republik Indonesia cq Pemerintah segera menerbitkan regulasi yang efektif mengatur pemulihan hak-hak korban penyiksaan, hal tersebut dikarenakan regulasi yang ada masih mengabaikan dan belum mengakomodir hak-hak korban penyiksaan;
-
Negara Republik Indonesia cq. Pemerintah untuk mengatur regulasi khusus tindakan penyiksaan sebagai tindak pidana dalam RKUHP dan merevisi KUHAP yang mengatur keberadaan Hakim Komisaris sebagai pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, maupun wewenang lain seperti kepastian akses hak bantuan hukum sejak penyelidikan, pengaturan batal demi hukumnya penyidikan yang diperoleh dengan praktik penyiksaan yang semestinya diatur dalam KUHAP, untuk mencegah terus berulangnya praktik penyiksaan.
-
Harus ada reformasi serius di tubuh Aparat penegak hukum khususnya dari unsur Kepolisian yang menjadi pelaku dominan dalam kasus penyiksaan. Reformasi Kepolisian RI harus dilakukan untuk memperbaiki mekanisme pengawasan agar penegakan hukum mengedepankan prinsip hak asasi manusia. Khususnya dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang kerapkali dilakukan dengan praktik penyiksaan serta penegakan hukum yang transparan dan akuntabel terhadap pelaku di internal kepolisian yang melakukan praktik penyiksaan;
-
Komnas HAM melakukan penyelidikan khusus terhadap berbagai kasus penyiksaan yang telah melembaga dan terus terjadi dalam proses peradilan khususnya di institusi kepolisian maupun di institusi penegak hukum lainnya.
-
Mengajak kepada publik untuk terus aktif menyuarakan semangat konvensi menentang praktik penyiksaan dan berani menempuh upaya hukum untuk mencegah serta menindak pelaku praktik penyiksaan.
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Jakarta, 26 Juni 2020