LBH Jakarta, yang diwakili oleh Febi Yonesta, pada 15 – 18 Mei 2013 menghadiri 2013 World Human Rights Cities Forum (WHRCF) yang diselenggarakan di Gwangju – Korea Selatan. Forum ini dihadiri oleh 552 peserta dari seluruh dunia. Mereka mewakili berbagai institusi yang beragam, mulai dari perwakilan: Kementerian, pemerintah daerah, ASEAN & AICHR, Universitas, Organisasi Masyarakat Sipil di berbagai negara, sampai dengan perwakilan organisasi Internasional.
Forum yang diinisasi oleh Kota Gwangju dan May 18 Memorial Foundation ini bertemakan “Sustainable Human Rights City for All: Guiding Principles for a Human Rights City” atau “Kota Hak Asasi Manusia yang Berkelanjutan untuk Semua: Prinsip-prinsip Penduan untuk Kota Hak Asasi Manusia”. Forum ini bertujuan untuk mengangkat tantangan-tantangan yang muncul yang diidentifikasi oleh para aktor kunci termasuk para Kepala Daerah, pegawai negeri, pembuat kebijakan, dewan kota, masyarakat sipil, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya, dalam proses merealisasikan Kota Hak Asasi Manusia berdasarkan konteks masing-masing dengan berfokus pada membangun kelembagaan dan mekanisme serta pendidikan hak asasi manusia.
Forum ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah Kota Gwangju untuk terus mempromosikan visinya kepada para kepala daerah dan para pembela hak asasi manusia, membangun kota yang berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi seluruh penduduk tanpa melihat ras, jenis kelamin, warna kulit, kewarganegaraan, suku, dan status sosial, khususnya bagi kelompok minoritas dan kelompok rentan, sebagaimana termuat di dalam Gwangju Declaration on Human Rights City yang diadopsi pada 17 Mei 2011, sejalan dengan semangat Perjuangan Demokratik Gwangju 18 Mei 1980.
Program utama 2013 WHRCF terdiri dari beberapa workshop tematik, antara lain:
- Human Rights Institution and Policies
- Human Rights Education and Civil Servants
- Architecture and Human Rights
- State Violence and Human Rights Cities
- Environment and Human Rights
- City and Disability
- City and Gender
- City and Children & Youth
Selain program utama tersebut, bersamaan dengan forum ini diselenggarakan pula beberapa pertemuan paralel lainnya, yaitu:
- Global Observatory on Decentralization
- Conference for the Institution Holding Human Rights Records Registered to MOW, UNESCO
- Annual Conference of East Asia Network and Democracy, Human Rights and Peace
- Annual Workshop of Solidarity for Democratization Movement in Asia (SDMA)
- 12th East Asia Peace Forum on Historical Understanding
- Workshop on Treatment of Psychological and Emotional Trauma by State Violence
Selain beberapa workshop di atas, beberapa kegiatan berikut ini merupakan rangkaian acara terkait dengan 2013 WHRCF:
- 2013 Global Essay Contest for Human Rights City
- The Citizens’ Rally on the Eve of May 18 People’s Uprising
- The 33rd Commemorative Ceremony of May 18 Democratic Uprising
- 2013 Gwangju Prize for Human Rights
LBH Jakarta diundang untuk berbicara tentang Independensi Peradilan di Indonesia di salah satu Workshop tematik SDMA yang berjudul: Judiciary Watch Workshop for Asian Civil Societies, yang dijadwalkan pada 16 Mei 2012. Di dalam workshop tersebut, Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta, berbagi tentang beberapa putusan peradilan yang berdampak paling buruk terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia, akibat dari kurang indepen – nya peradilan di Indonesia dan
banyaknya intervensi terhadap peradilan yang didorong oleh beragam kepentingan. Putusan-putusan peradilan terburuk tersebut diantaranya adalah:
- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai Mahkamah Agung yang mempidanakan Lia Eden atas keyakinan yang dianutnya dengan menggunakan Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama, dimana pemidanaan ini menjadi preseden yang sangat buruk di dalam praktek peradilan, serta mendorong banyaknya pemidanaan berdasarkan agama atau keyakinan di Indonesia.
- Putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materil terhadap undang-undang penodaan agama, dimana penolakan Mahkamah untuk mencabut undang-undang ini akan terus melegitimasi kriminalisasi dan kekerasan atas dasar agama, khususnya terhadap kelompok keagamaan minoritas.
- Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar yang membebaskan 2 orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa Abepura, telah memupus harapan para korban pelanggaran berat HAM untuk memperoleh keadilan melalui pengadilan HAM permanen tersebut.
Namun demikian, Febi pun menyampaikan salah satu contoh putusan peradilan yang cukup baik dan berdampak pada perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia, yaitu:
- Putusan Mahkamah Konsititusi atas permohonan uji materil terhadap undang-undang pelarangan buku, dimana Mahkamah menilai bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi dan mengatur bahwa pelarangan buku apapun harus terlebih dahulu melalui proses peradilan.
Dalam diskusi, forum mengidentifikasi pentingnya independensi peradilan untuk menghasilkan putusan yang positif dan sejalan dengan perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia, serta menjamin rasa keadilan masyarakat. Namun, dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi kinerja peradilan, dan untuk selalu menyuarakan pentingnya independensi peradilan, serta mengoreksi kekeliruan yang dibuat oleh para hakim dalam memutus kasus. Dalam kesempatan tersebut, Febi Yonesta juga mengingatkan pentingnya kualifikasi para hakim dalam bidang hak asasi manusia yang sangat terkait dengan kualitas pendidikan mereka, sehingga mereka dapat membuat putusan yang adil dan berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan tentang nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia sangat penting untuk ditanamkan di dalam kurikulum pendidikan sejak dasar, terlebih lagi di dalam kurikulum fakultas hukum.