PP, seorang anak yatim, berusia 17 (tujuh belas) tahun akhirnya dilepaskan dari tahanan Kepolisian Sektor (Polsek) Tanah Abang, Selasa (10/10). PP ditahan atas dugaan kepemilikan narkoba jenis sabu-sabu. PP ditahan sejak 22 September 2017 tanpa surat penangkapan maupun surat penahanan yang dikirimkan secara resmi kepada keluarganya. Ibunda PP mengadukan masalah ini ke LBH Jakarta dan menandatangani penunjukan kuasa sejak hari Selasa, 10 Oktober 2010.
Jalannya proses pembebasan PP diungkapkan oleh Arif Maulana, kuasa hukum PP dari LBH Jakarta cukup berbelit-belit. Di Polsek Tanah Abang ia sempat menemui penyidik, namun usaha tersebut tidak membawakan hasil apapun. Pasal 33 UU No. 11 Tahun 2012, penahanan pada anak untuk kepentingan penyidikan hanya dapat dilakukan selama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang selama 8 (delapan) hari. Atas dasar tersebut kemudian Arif meminta untuk langsung dipertemukan kepada Kapolsek Tanah Abang.
“Ini sudah masuk hari ke 19 (sembilan belas) dan masih dilakukan penahanan, Kami meminta klien kami untuk dikeluarkan demi hukum,” kata Arif Maulana.
Kapolsek Metro Tanah Abang, AKBP Lukman Cahyono, yang menemui kuasa hukum PP pada pukul 16.30 WIB mengakui bahwa penahanan yang lewat waktu tersebut merupakan kelalaian penyidik.
“Kami akan memerintahkan penyidik untuk mengeluarkan PP sesuai dengan undang-undang dan saya pribadi mengucap termakasih kepada Kuasa Hukum dari LBH Jakarta atas itikad baiknya untuk mengoreksi Kami,” ucapnya dihadapan kuasa hukum PP.
Setelah melalui serangkaian proses administrasi, PP akhirnya dikeluarkan dari tahanan pada pukul 20.00 WIB untuk dapat kembali ke rumah bersama ibundanya. Meskipun tidak ditahan, proses hukum kepada PP akan tetap berjalan. PP wajib menjalani lapor setiap hari Senin dan Kamis di Polsek Tanah Abang.
Kepada kuasa hukumnya PP juga menceritakan bahwa ia mengalami penyiksaan dari beberapa penyidik tak lama setelah penangkapan. PP mengatakan ia disiksa meski telah memberikan kesaksian yang sebenarnya terkait tindak pidana yang terjadi. Tak hanya mengalami penyiksaan PP juga ditempatkan dalam satu tahanan berukuran 3×4 bersama dengan sembilan orang tahanan berusia dewasa dan 2 orang tahanan anak selama 19 hari.
“Sejak pukul satu hingga lima pagi, tangan dan kepala saya terus menerus dicambuk dan dipukul menggunakan kunci inggris,” terangnya.
Penyiksaan, penahanan lewat waktu, dan penempatan PP di sel orang dewasa adalah sekelumit fakta yang terus berulang terkait kondisi buruknya pelaksanaan sistem peradilan pidana anak. Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Anak sejak 5 September 1990 silam dan memiliki UU No. 12 tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak belum mampu untuk memberikan perlindungan hukum khusus dalam konteks anak berhadapan dengan hukum.
Disisi lain, Kesaksian PP yang dijadikan perantara jual beli narkoba menunjukkan situasi kongkrit daruratnya kondisi peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-remaja. Dua hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah serius bagi aparat penegak hukum dan masyarakat untuk bersama-sama membenahinya. (Nabella)