Pada Senin, 30 Agustus 2021 Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BALEG DPR-RI) menggelar rapat pleno penyusunan draf Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Berdasarkan draf RUU PKS versi 30 Agustus 2021 yang diterbitkan oleh BALEG DPR-RI, LBH Jakarta menyoroti ketentuan yang ‘hilang’ dan ‘kurang’ sehingga mengakibatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum. Hal tersebut sekaligus mempertanyakan kepada pembentuk undang-undang, mau dibawa ke arah mana perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual.
LBH Jakarta memberikan 16 (enam belas) catatan penting terhadap draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI. Pertama, hilangnya asas dan tujuan pembentukan undang-undang membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas. Kedua, dihapusnya tindak pidana perbudakan seksual. Ketiga, dihapusnya tindak pidana pemaksaan perkawinan. Keempat, ketentuan mengenai pemaksaan aborsi dihilangkan. Kelima, tidak adanya tindak pidana pemaksaan pelacuran. Keenam, pengubahan nomenklatur tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan perkosaan itu sendiri. Ketujuh, tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan berbasis gender online. Kedelapan, menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak. Kesembilan, tidak diaturnya pidana berupa tindakan bagi pelaku.
Kesepuluh, tidak adanya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas. Kesebelas, hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab Kedua belas, tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum. Ketiga belas, tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban. Keempat belas, arah upaya pencegahan tidak diatur secara komprehensif dalam draf sehingga tindakan preventif yang seharusnya menjadi perhatian serius menjadi terabaikan. Kelima belas, tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakkan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban. Keenam belas, menghilangkan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.
Memperhatikan catatan tersebut di atas didapati bahwa draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI belum mengakomodir secara komprehensif segala upaya untuk menghapus kekerasan seksual, maka LBH Jakarta menuntut agar:
- Badan Legislatif DPR-RI memasukan seluruh catatan LBH Jakarta agar dirumuskan untuk diatur menjadi pasal demi pasal ke dalam draf RUU PKS;
- Badan Legislatif DPR-RI segera membuka seluas-luasnya ruang partisipasi public dengan melibatkan secara aktif korban, pendamping, kelompok masyarakat dan ahli yang konsisten mendorong pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual untuk merumuskan kebijakan pasal demi pasal terhadap RUU PKS;
- Badan Legislatif DPR-RI mendengarkan, mempertimbangkan dan mengimplementasikan masukan yang komprehensif dari berbagai kalangan yang mempunyai visi besar untuk mencegah serta menghapuskan kekerasan seksual melalui RUU PKS;
Jakarta, 2 September 2021
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Lampiran Analisis 16 Catatan Penting
1. Hilangnya Asas dan Tujuan Pembentukan Undang-Undang Membuat Arah Penghapusan Kekerasan Seksual Menjadi Tidak Jelas
Dalam draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI tidak memuat asas dan tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Seharusnya terdapat asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, jaminan ketidak berulangan, kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. Selain asas, tidak terdapat tujuan dibentuknya dalam draf RUU PKS seperti mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mewujudkan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. Absennya asas dan tujuan pembentukan undang-undang dalam draf RUU PKS berdampak pada tidak jelasnya arah penghapusan kekerasan seksual dan perlindungan terhadap korban.
2. Tindak Pidana Perbudakan Seksual Hilang
Perbudakan seksual adalah perbuatan satu atau lebih tindak pidana kekerasan seksual disertai membatasi ruang gerak atau akses terhadap dunia luar atau sumber daya, atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan korban melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain secara terus-menerus atau berulang kali. Menurut Laporan Pemantauan YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia, tercatat 5 kasus perbudakan seksual selama tahun 2020. Selain menimbulkan trauma berkepanjangan, korban juga mengalami penderitaan berat dari segala aspek. Indonesia telah mengalami sejarah kelam perbudakan seksual ketika masa penjajahan Jepang, agar tidak terjadi keberulangan maka menjadi sangat penting untuk merumuskan tindak pidana perbudakan seksual yang diatur dalam RUU PKS.
3. Dihapusnya Tindak Pidana Pemaksaan Perkawinan
Hilangnya jenis tindak pidana pemaksaan perkawinan dalam draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI sama halnya dengan mendukung status quo serta mengabaikan fakta pemaksaan perkawinan yang dihadapi perempuan dan anak. Perkawinan anak dan pemaksaan perkawinan merupakan bentuk kekerasan terhadap gender yang telah berdampak secara kerugian fisik, mental atau seksual. Selain itu, pemaksaan perkawinan mengakibatkan terhambat dan terkuranginya pemenuhan hak-hak fundamental sebagai manusia. Sering kali, pemaksaan perkawinan dilakukan atas nama praktik budaya warisan leluhur. Namun seharusnya, praktik budaya yang merendahkan martabat seorang manusia harus dihapuskan. Menghilangkan jenis tindak kekerasan ini juga melegitimasi pemaksaan perkawinan korban kekerasan seksual dengan pelaku, tidak memberikan rasa aman, menghambat pemulihan dan berpotensi keberulangan.
4. Ketentuan Mengenai Pemaksaan Aborsi Hilang
Pemaksaan aborsi dalam draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI sama sekali tidak diatur. Hal ini penting untuk diatur sebagai terobosan untuk memidana pelaku pemaksaan aborsi yang kemudian memberi perlindungan terhadap perempuan yang tidak melakukan aborsi. Laporan YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia, terdapat 7 korban pemaksaan aborsi selama tahun 2020. Lalu catatan Komnas Perempuan, tercatat 9 korban selama tahun 2020. Oleh karenanya, RUU PKS harus mengakomodir penjatuhan pidana terhadap orang yang memaksa melakukan aborsi. Sebagai upaya perlindungan, RUU PKS juga penting menegaskan “tidak mempidana” korban pemaksaan aborsi, aborsi karena kedaruratan medis dan aborsi karena kehamilan akibat kekerasan seksual.
5. Tindak Pidana Pemaksaan Pelacuran Hilang
Hilangnya jenis tindak pidana ini dalam draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI adalah bentuk pengabaian terhadap korban pemaksaan pelacuran. Ketentuan ini perlu didorong agar korban pemaksaan pelacuran dilindungi, bukan malah dipidana. Kerap kali, korban berada dalam posisi relasi kuasa yang timpang sehingga sangat rentan menjadi korban eksploitasi seksual maupun ekonomi. Pembuat kebijakan sudah seharusnya mengakomodir hal ini sebagai bentuk tanggung jawab melindungi warga negaranya. Selain itu, pengaturan ini dapat menjadi terobosan mengisi kekosongan hukum untuk memidana pelaku pemaksaan pelacuran.
6. Pengubahan Nomenklatur Tindak Pidana Perkosaan Mereduksi Makna Sesungguhnya
Diubahnya istilah tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual dalam draf RUU PKS BALEG DPR-RI telah nyata menyempitkan definisi atas tindak pidana perkosaan. Konsekuensi logis bahwa pengubahan nomenklatur ini juga mempersulit korban perkosaan karena pembuktian terbatas pada adanya penetrasi penis ke vagina dengan kata lain terbatas pada pembuktian fisik akibat tindakan penetrasi tersebut.
7. Tidak Memuat Tindak Pidana Kekerasan Berbasis Gender Online
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) adalah bentuk kekerasan seksual yang paling marak hari ini. Selama tahun 2020, tercatat 52 kasus KBGO yang diterima oleh 17 LBH se-Indonesia. Sementara menurut CATAHU KOMNAS PEREMPUAN menyebut bahwa sepanjang pandemic COVID-19 mencatat sebanyak 970 kasus KBGO di tahun 2020. Tindakan-tindakan tersebut telah menimbulkan trauma bagi korban baik secara fisik maupun psikis. Konsekuensi logis bahwa dengan tidak mengatur tindak pidana KBGO, maka dapat dipastikan pula nihilnya penanganan, perlindungan serta pemulihan bagi korban. Sementara kebutuhan penanganan, perlindungan dan pemulihan korban KBGO perlu intervensi khusus salah satunya aspek teknologi.
8. Menyamakan Unsur Kekerasan Seksual Terhadap Korban Dewasa dan Anak
Kondisi khusus pada kasus kekerasan seksual yang dihadapi oleh anak tidak dimuat dalam draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI. Hampir seluruh unsur tindak pidana kekerasan seksual yang menyerang kehormatan terhadap anak disamakan dengan orang dewasa. Padahal, jika korban adalah anak tidak perlu lagi harus memenuhi seluruh unsur “adanya tindak kekerasan, ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, ketidakberdayaan, atau tanpa persertujuan” karena pada dasarnya anak tidak dalam kapasitas/ kemampuan dan tidak dapat memberikan persetujuan secara sadar. Persyaratan harus memenuhi unsur-unsur tersebut tidak relevan dan justru menghambat penegakkan dan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual.
9. Tidak Mengatur Pidana Berupa Tindakan Bagi Pelaku
Selain pidana pokok dan pidana tambahan perlu juga diatur mengenai pidana berupa tindakan bagi pelaku. Salah satunya adalah dengan memberikan tindakan rehabilitasi khusus bagi pelaku yakni dengan mengubah pola pikir atau cara pandang terpidana. Hal ini diperlukan agar mencegah keberulangan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh terpidana. Sanksi pidana pada umumnya tidak dapat memastikan adanya lingkungan yang aman pasca terpidana selesai menjalani hukuman dan kembali ke masyarakat. Lebih lanjut, RUU PKS juga perlu menunjuk pihak yang bertanggung jawab menyelenggarakan pidana tindakan, yakni Kementerian Hukum dan HAM.
10. Tidak Adanya Perlindungan Khusus Bagi Korban Dengan Disabilitas
Absennya pengaturan khusus yang melindungi korban kekerasan seksual dengan disabilitas adalah bentuk ketidakseriusan pembentuk kebijakan dalam melindungi seluruh warga negara dari kekerasan seksual. Draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI menjadikan posisi korban dengan disabilitas dalam posisi rentan ketika menghadapi proses peradilan. Dalam Laporan YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia, terdapat 6 korban dengan disabilitas selama tahun 2020. YLBHI mencatat bahwa dalam penegakkan hukum kasus kekerasan seksual yang menimpa korban dengan disabilitas mendapatkan penanganan yang diskriminatif. APH tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk memenuhi hak korban dengan disabilitas. RUU PKS harus memenuhi seluruh kebutuhan korban dengan disabilitas, salah satunya aksesibilitas.
11. Hilangnya Pengaturan yang Mewajibkan Pemerintah Memenuhi Hak Korban Adalah Bukti Nyata Negara Lari Dari Tanggung Jawab
Kewajiban pemerintah dalam upaya pemenuhan hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli dihilangkan. Padahal pemerintah mempunyai andil dan tanggung jawab terhadap penyediaan pelayanan terpadu, rumah aman, tenaga kesehatan, advokat atau pemberi bantuan hukum, paralegal, pendamping, melatih tenaga profesional secara terpadu, alokasi anggaran, sarana prasarana korban dengan kebutuhan khusus dan kerentanannya dalam situasi konflik serta darurat bencana, tempat tinggal pengganti bagi korban dan saksi yang tinggal bersama dalam lingkungan pelaku serta tanggung jawab untuk meningkatkan peran serta keluarga, komunitas masyarakat dan dunia usaha. Selain itu, penyelenggara pemenuhan hak korban, keluarga korban dan saksi tidak diatur seperti pemberian bantuan hukum, fasilitas pelayanan kesehatan, unit pelaksana teknis, dan pusat pelayanan terpadu. Bilamana draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI ini disahkan, maka nyata negara gagal memenuhi prinsip dasar tanggung jawab HAM untuk menjalankan kewajban dalam menghormati (to respect), melindungi (to protectl) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi.
12. Hak Korban, Keluarga Korban, Saksi dan Ahli Diabaikan
Pengaturan vital lainnya yaitu hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli tidak diatur komprehensif dalam draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI. Hak korban seperti hak atas penanganan, hak atas perlindungan dan hak atas pemulihan tidak disebut secara eksplisit dan komprehensif dalam draf. Hak korban atas penanganan misalnya (namun tidak terbatas pada) hak kemudahan mengakses layanan pengaduan, mendapat bantuan hukum, layanan kesehatan dan psikologis, mendapatkan dokumen hasil penanganan perkara, dll. Beberapa hak korban atas perlindungan (namun tidak terbatas pada) hak atas dukungan transportasi dan akomodasi, hak menyampaikan keterangan tanpa tekanan, stigma dan diskriminasi, serta hak untuk mendapatkan pemberdayaan hukum dan ekonomi, dll. Hak korban dalam hal pemulihan yang dimaksud mulai dari aspek fisik, psikis, ekonomi, sosial dan budaya, politik dan ganti rugi. Padahal, salah satu tujuan utama RUU PKS dibentuk adalah untuk melindungi korban yang selama ini tidak diatur komprehensif dalam peraturan manapun.
Selain itu, RUU PKS perlu juga mengatur mengenai hak keluarga korban, saksi dan ahli yang memiliki urgensitas untuk dijamin hak-haknya agar penanganan kasus kekerasan seksual dapat ditegakkan secara utuh. Hak-hak tersebut misalnya hak atas perlindungan keamanan diri, keluarga, kelompok hingga harta bendanya dari ancaman tindakan kekerasan dari pihak lain.
13. Tidak Ada Kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu
Tidak sinkronnya antara pemenuhan hak korban dan tanggung jawab pelaksanaan terpampang dalam draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI. Pusat pelayanan terpadu (PPT) yang seharusnya tersistematisasi dengan diberi kewajiban untuk menyelenggarakan penanganan, perlindungan dan pemulihan korban. Kewajiban tersebut antara lain seperti memberikan layanan Kesehatan, penguatan psikologis, pendampingan hukum, ganti kerugian kepada korban, menyediakan layanan psikososial, pemberdayaan ekonomi, aksesibilitas dan akomodasi yang layak secara terpadu serta melakukan pemantauan pemenuhan hak korban oleh APH selama proses acara peradilan. Tidak diaturnya kewajiban PPT akan membuat pemenuhan serta perlindungan korban terombang-ambing.
14. Upaya Pencegahan Tidak Maksimal
Upaya pencegahan kekerasan seksual tidak terintegrasi di antara eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam draf RUU PKS versi BALEG DPR-RI. Tidak diaturnya mengenai kewajiban alokasi anggaran terhadap institusi negara untuk terlibat aktif menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual membuat negara tidak serius dalam melakukan tindakan preventif. Tak hanya itu, diperlukan pengaturan bidang yang harus diintervensi untuk melakukan pencegahan, seperti bidang pendidikan, pelayanan publik, pemerintahan, hingga ekonomi, sosial dan budaya.
Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah perlu memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual sebagai bahan ajar setiap jenjang pendidikan dari dasar hingga tinggi. Diperlukan penetapan kebijakan untuk penguatan pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik memiliki posisi strategis dalam upaya pencegahan kekerasan seksual sejak dini. Misalnya mendorong dimasukkannya bahan ajar Pendidikan penghapusan kekerasan seksual menjadi salah satu syarat akreditasi. Selain bidang Pendidikan, pencegahan kekerasan seksual juga harus dilakukan di bidang dunia usaha termasuk menetapkan kebijakan penghapusan kekerasan seksual di dunia ketenagakerjaan seperti dalam lingkungan serikat pekerja, asosiasi pengusaha hingga asosiasi penyalur tenaga kerja dan para pihak terkait.
15. Tidak Ada Larangan Bagi APH Berlaku Diskriminatif Mengabaikan Realitas Penegakan Hukum Kasus Kekerasan Seksual
Adalah fakta bahwa selama ini APH sebagai penyelenggara penegak hukum tidak ramah dan tidak mempunyai perspektif korban kekerasan seksual. Misalnya dari segi bersikap dengan mengajukan pertanyaan dan mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi, menghina dan menjerat korban hingga saksi yang mengandung stereotip gender. Tak hanya itu, APH kerap kali menggunakan pertimbangan budaya, aturan adat, praktik tradisional yang mengandung muatan diskriminasi terhadap korban. Menggunakan penafsiran ahli yang bias gender dan menjadikan latar belakang seksualitas korban sebagai pertimbangan juga merupakan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Tindakan-tindakan tersebut jelas merendahkan harkat dan martabat korban. Seharusnya negara memastikan APH berlaku non-diskriminatif agar terciptanya peradilan yang aman bagi korban kekerasan seksual.
16. Menghilangkan Peran Paralegal
Nihilnya pengaturan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual dalam proses litigasi maupun non-litigasi telah mengkerdilkan peran paralegal yang selama ini banyak mendukung upaya penghapusan kekerasan seksual. Sejatinya, peran paralegal yang terafiliasi dan diberdayakan oleh organisasi bantuan hukum telah memberikan dampak positif dalam setiap penanganan kasus di tengah kurangnya sumber daya advokat untuk mendampingi korban. Selain itu, paralegal juga berperan penting untuk memenuhi akses keadilan bagi korban kekerasan seksual.