15 tahun sudah kasus tragedi dibunuhnya Munir. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menyelenggarakan diskusi publik yang mengusung judul “Kasus Munir: ‘Menggugat’ Sikap Pemerintahan Jokowi”. Diskusi tersebut diselenggarakan pada 23 September 2019 di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Narasumber diskusi tersebut yaitu Ninik Rahayu sebagai wakil ketua Ombudsman RI, Usman Hamid mantan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, Yati Andriyani dari Kontras, Bivitri Susanti dari KASUM serta dipandu oleh Arif Maulana sebagai moderator.
Pada 23 Juni 2006 TPF Munir mengumumkan bahwa dalam dibunuhnya Munir terdapat permufakatan jahat. Adanya permufakatan jahat tersebut melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai aktor lapangan, aktor yang turut serta atau mempermudah, aktor perencana, dan aktor pengambil keputusan.
“Pembunuhan Munir bersifat konspiratif dan tidak ada motif pribadi,” kata Usman Hamid membuka sesinya pada diskusi publik ini.
Usman Hamid juga memberikan pandangannya terkait dengan sikap pemerintahan saat ini terkait kasus Munir. Menurutnya, ada dua cara untuk melihat bagaimana sikap pemerintah saat ini, pertama, dengan membandingkan sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan pemerintahan sebelumnya. Alasan dari pengunaan cara ini yaitu untuk melihat kesamaan dari kedua pemerintahaan tersebut yang sama-sama ditagih masyarakat.
“Kedua pemerintahan saat ini dan sebelumnya sama-sama ditagih oleh masyarakat untuk mengusut pelaku dan dalang dari pembunuhan Munir,” tegas Usman.
Cara kedua, menurut Usman dengan menggunakan perbandingan kasus serupa yang memiiliki kemiripan dengan kasus pembunuhan Munir.
Telah kita ketahui bersama, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk menyikapi kasus kematian Munir, SBY mengeluaran Keppres yang membidani kelahiran Tim Pencari Fakta kasus dibunuhnya Munir. Sementara pada pemerintahan Joko Widodo, selaku Presiden RI Ia tidak mengeluarkan aturan hukum apapun, yang oleh Usman Hamid disebut, “Kemunduran.”
Perbandingan kedua yaitu dengan kasus yang serupa dengan Munir yaitu kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Eluay. Pada saat itu, Megawati sebagai kepala pemerintahan membentuk Keppres No. 10 Tahun 2002 dan membentuk Tim Penyelidik Nasional (TPN). Namun, dalam penyelidikan kasus Theys Eluay pun laporan penyelidikannya tidak dirilis.
“Megawati tidak ideal, tetapi Jokowi lebih lemah dari Megawati,” tambah Usman.
Sementara Yati Adriyani Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam diskusi publik ini menyampaikan bahwa pemerintah masih tetap memandang Munir sebagai sebuah ancaman. Oleh Yati pandangan tersebut diartikan sebagai penyebab mandeknya penyelesaian kasus Munir baik secara hukum maupun Politik.
Dalam kesempatannya pula Yati menyoroti kabar hilangnya laporan TPF Munir yang merupakan dokumen negara. Ia menyebut bahwa dokumen tersebut tidak hilang, tapi dihilangkan.
“Mestinya jika benar dokumen itu hilang, seharusnya panggil orang yang menghilangkan dokumen tersebut. Jokowi dan Presiden, Kapolri dan Jaksa Agung bawahannya, secara politik dan hukum, Jokowi bisa memanggil Jaksa Agung dan polisi terkait dokumen Munir,” tegas Yati.
Yati juga menyinggung tentang statement Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP), Eko Sulistyo. KSP pada saat itu menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi tidak memiliki kewajiban untuk mengumumkan hasil TPF Munir. Padahal menurut dictum ke 9 Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, laporan hasil TPF harus diumumkan kepada masyarakat.
Bivitri yang hadir mewakili Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) dan juga seorang dosen hukum tata negara ini menjelaskan bahwa sering ada kekeliruan dalam memandang seorang presiden. Presiden sebagai individu bukan presiden dari lembagaa kepresidenan (eksekutif). Maka konsekuensi presiden sebagai kekuasaan eksekutif melekat fungsi dan kewenangannya, tidak hanya terbatas pada masa periode jabatan.
“Pak SBY selesai bukan berarti presiden selanjutnya tidak menyelesaikan tugas kerja-kerja lembaga kepresidenan,” ungkap Bivitri.
Dalam diskusi ini pula, Ninik Rahayu wakil ketua Ombudsman RI menyampaikan pandangannya terkait kasus dibunuhnya Munir. Dilihat dari mekanisme pelayanan pubik, olehnya, kasus Munir dipandang mandeg.
“Ada yang tidak dijalankan dari Keppres yaitu tidak diumumkannya hasil TPF Munir, artinya pemerintah tidak transparan dan terbuka dalam menjalankan pemerintahan,” ungkapnya.
“Ada prosedur yang tidak beres dalam pemerintahan, di sekertariat negara, padahal dokumen penting. Lembaga pemerintahan punya mekanisme, punya standar yang jelas didalam penyimpanan dokumen”, tambahnya.
Ninik juga menyarankan, harus ada upaya untuk melakukan investigasi terhadap hilangnya dokumen. Selaku wakil Ombudsman RI, Ia mengaku bahwa, sejak 2016, Ombudsman belum melakukan apapun terkait kasus Munir.
“UU Nomor 37 Tahun 2008, punya prosedur penanganan. Kita tidak bisa turun langsung ambil peran,” tutupnya.