Oleh: Sabri Leurima
Komite Mahasiswa Dan Pemuda Anti Kekerasan (Kompak)
Tepat 25 Oktober 2017 kemarin, saya mencoba untuk mendaur kembali alam pikiran kita atas sebuah peristiwa berdarah sepanjang peradaban umat manusia, peristiwa itu kita kenal dengan nama “Tak Bai Berdarah”. Tak Bai berdarah yang jatuh pada 25 Oktober 2004 silam sangat dogmatis dan bertalenta dalam merusak tatanan hidup sosial dan demokatis atas Bangsa Melayu Patani di Thailand Selatan.
Tak begitu banyak kelas akar rumput mengetahui dan menyadari akan peristiwa tersebut, sehingga kemudian di tahun yang ke-13 ini, sengaja tulisan ini dipublis agar masyarakat Indonesia melek atas peristiwa itu. Tak Bai berdarah adalah satu dari sekian banyak peristiwa kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Cryme) yang terjadi pada belahan dunia ketiga. Hamburan senjata berat oleh aparat pemerintahan Thailand terhadap umat Muslim Patani sangat membuat resah dan trauma masyarakat. Sebagian pegiat Hak Asasi Manusia (HAM ) mendesak agar pemerintahan Thailand bertanggung jawab atas peristiwa itu.
Sengketa kerusuhan tengah berlangsung selama 13 tahun ini, konflik antara pemerintah terhadap masyarakat Melayu Patani yang mendiami wilayah Sempadan Selatan (perbatasan Malaysia) ini kembali semakin hebat. Kasus pelanggaran bermula pada tahun 2004, dimana sebanyak 84 jiwa masyarakat Patani kehilangan nyawa akibat dibunuh aparat bersenjata berat Thailand. Ketika itu, lebih dari 2,000 masyarakat melakukan aksi massa menuntut kepolisian di daerah Tak Bai, Provinsi Narathiwat atas kasus penangkapan terhadap warga yang dituduh merampas senjata aparat yang menjaga keamanan di daerah setempat.
Tidak hanya itu, kasus-kasus pelanggaran yang menjadi popular di sebagian mata dunia belum begitu penuh dalam melihat kondisi pasca konflik hingga keberlansungan konflik dan masa sekarang. Kejadiannya hampir setiap hari masyarakat ditangkap oleh militer ketika masyarakat dicurigai ingin melakukan perlawanan, sehingga penangkapan sewenang-wenang terus merongrong masyarakat setempat. Namun anehnya, penangkapan yang dilakukan atas tuduhan separatisme atau pemberontakan tidak cukup bukti yang kuat. Sedangkan petugas yang belum memiliki bukti atau fakta menangkap dan menahan dalam tahanan militer kemudian menghembuskan nafas terakhir di Kamp Pusat Operasi Militer Wilayah Selatan (POMWIS).
Lalu bagaimana dengan masa depan bangsa Patani? Berdasarkan data dari sejumlah penulis, bahwa semenjak tahun 2004 hingga saat ini kekerasan berlangsung telah menelan korban lebih dari 6.500 orang mati terbunuh dan 11.500 orang luka-luka. Selain itu, pemberlakukan darurat militer dan instrumen hukum keamanan lainnya di Thailand selatan juga mengakibatkan sering terjadinya penangkapan sewenang-wenang.
Selain menuntut hak rasa aman dan kesejahteraan sebagai warga negara Thailand. Pelanggaran HAM terhadap masyarakat Patani tidak saja berlaku di wilayah selatan namun kejadiannya bisa berlaku di mana-mana dengan orang Patani. Baru-baru ini kejadian pada Oktober kemarin, kasus penahanan terhadap warga kian bertambah. Ada begitu banyak rangkaian pelanggaran HAM yang bisa dianalisis, mulai dari ruang bereskpersi yang dibungkam, intimidasi, penangkapan, pemukulan dan penembakan terus terjadi, ketika ada sekumpulan perlawanan yang digarap oleh masyarakat Patani.
Apa yang dirasakan warga Patani sama halnya dengan Indonesia ketika masa Orde Baru. Bahwa Soeharto dengan watak otoritarianismenya mampu mengkokohkan kekuasaannya selama 32 tahun.Tapi lagi-lagi kekuasaan itu ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa dan rakyat Indonesia. Hal yang sama seperti pada saat Orde Baru kali ini tengah dialami masyarakat Patani. Kini sebagian warga Patani yang mengenyam pendidikan di negara-negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi terus diwanti-wanti oleh mata-mata pemerintah Thailand. sehingga kebebasan berekspresi yang dilakukan untuk menyuarakan dan menggalang solidaritas antar negara dalam merespon kasus pelanggaran HAM di Patani tidak begitu leluasa berjalan. Ya, mungkin kumpulan mahasiswa atau pemuda Patani yang berada di luar Thailand tidak begitu menjadi sasaran tangkap, walaupun ada beberapa orang yang sudah ditangkap, tapi teror dan tindak kekerasan akan didapat oleh keluarga dan orang tua dari anak yang menyuarakan kasus Patani di negara yang sekarang ia tempati.
Kondisi seperti ini sangat tidak memberikan keleluasaan bergerak bagi warga Patani di luar Patani, sehingga mereka butuh perhatian publik dalam menyuarakan hak-hak mereka sebagai warga Patani dan agar hak atas politik, ekonomi sosial dan budaya bisa mereka nikmati lagi. Entah perhatian itu oleh kelompok gerakan mahasiswa ataupun lembaga-lembaga terkait yang memiliki fokus untuk menyelesaikan konflik dan perampasan hak berkepangjangan ini.
Bahkan, Dewan HAM Asean tidak mampu memberikan kontribusi penuh atas keberlansungan pelanggaran HAM yang terjadi di Patani, hanya rekomendasi dan evalusi yang terlaksana. itu pun kalau, pihak pemerintahan Thailand mau membuka informasi yang sedetil-detilnya, tapi kalau tidak, yasudah! Dinamisasi kehidupan warga Patani selalu dipertanyakan, dikarenakan ruang ekspresi yang begitu sulit, pengakuan atas warga muslim melayu yang masih disentuh dengan cara kekerasan oleh aparat bersenjata Thailand, dan tentu pertanyaan-pertanyaan atas rasa aman dan kesejateraan sosial disana.
Walaupun akan seperti itu hasilnya, namun semangat solidaritas tidak kiranya harus berkurang tapi terus bertambah untuk melakukan perlawanan. Karena dalam pandangan HAM, kemanusiaan itu tidak berbatas teritori tapi universal. Dimana ada kekerasan disitu pula ada orang yang menyuarakan HAM.
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.