“11 Tahun Penerapan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum: Perluasan Akses Bantuan Hukum Harus Menjadi Agenda Prioritas Pemerintah dan Publik”
(2/11) Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) genap diterapkan selama 11 tahun lamanya sejak UU Bantuan Hukum diundang pada tanggal 2 November 2011. Dengan usia yang selama itu, LBH Jakarta menilai perluasan akses bantuan hukum terhadap keadilan masyarakat miskin dan kelompok rentan masih terdapat beberapa catatan, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin harus dipandang sebagai sebuah instrumen untuk pengentasan kemiskinan struktural, sebagaimana yang digagas oleh Commission Legal Empowerment for The Poor (LEP) bahwa untuk melakukan pengentasan kemiskinan dapat ditempuh melalui jalan pemberdayaan hukum (law empowerment) bagi kaum miskin untuk mendapatkan keadilan atas adanya ketimpangan hak atas kepemilikan dan sumber daya alam. Dalam Sustainable Development Goals (SDGs) setidak-tidaknya dalam penyelenggaraan perluasan akses bantuan hukum dapat mencapai beberapa tujuannya anatara lain tanpa kemiskinan (no poverty), berkurangnya kesenjangan (reduced inequality), perdamaian, keadilan dan penguatan lembaga (peace, justice and strong institutions), pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (decent work and economic growth), dan kemitraan untuk mencapai tujuan (partnerships for the goals).
Artinya, dari penjelasan diatas semangat perlindungan rakyat oleh pemerintah harus dapat tercermin dalam lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang salah satunya melalui akses bantuan hukum sebagai fundamental importance yang harus dapat dilaksanakan dan bermakna.
Kedua, masih timpangnya jumlah Organisasi Bantuan Hukum (OBH) terverifikasi dan akreditasi di seluruh Indonesia yang hanya berjumlah 619 OBH, sedangkan sekitar 208 juta jumlah penduduk Indonesia yang berpotensi menjadi pencari keadilan. Sejauh ini, penerima bantuan hukum hanya terbatas pada orang atau kelompok orang miskin, semestinya sudah juga menyasar pada kelompok rentan lain bahkan Korban sekalipun. Kondisi tersebut menjadi kendala kedepannya jika sempitnya pemaknaan penerima bantuan hukum terus dilanggengkan seperti yang sekarang ini diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU Bantuan Hukum.
Ketiga, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang menjalankan fungsi-fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam penyebarluasan akses bantuan hukum dan pembentukan peraturan daerah belum efektif dalam mendorong dan menginisiasi pembentukan Perda tentang Bantuan Hukum hadir dengan menangkap kekhususan kebutuhan masing-masing daerah dan integrasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan.
Ketiga, pengakuan atas eksistensi Paralegal dalam membantu kerja-kerja pemberian bantuan hukum pada beberapa pengaturan belum memberikan perlindungan dan penguatan, terkhusus pada Paralegal berbasis komunitas. Selain itu, terhadap terbitnya Permenkumham No. 3 Tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum, LBH Jakarta meberikan catatan:
- Merevisi definisi penerima bantuan hukum untuk diperluas tidak hanya bagi orang atau kelompok orang miskin namun juga meliputi orang atau kelompok orang yang minoritas, rentan dan buta hukum;
- Menghapus pengajuan pengakuan rekognisi, khususnya pada Pasal 13 Ayat (3) huruf (a) angka (2) mengenai pengalaman paralegal dalam memberikan bantuan hukum;
- Menghapus ketentuan mengenai pengakuan kompetensi karena hanya akan menghambat berkembangnya paralegal;
- Menghapus frasa memahami hukum dasar pada Pasal 5 Ayat (1) huruf (a);
- Melakukan revisi terhadap Pasal 5 Ayat (3) dengan hanya cukup melampirkan laporan pendidikan;
- Mengubah frasa “ditetapkan” menjadi “dapat berkonsultasi” pada Pasal 7 Ayat (1) Permenkumham 3/2021 sebagaimana diatur dalam Permenkumham sebelumnya;
- Merevisi Pasal 6 Ayat (3) tersebut bahwasanya pendidikan dan pelatihan terhadap paralegal agar cukup dilakukan oleh Organisasi Bantuan hukum atau Organisasi Kemasyarakatan terkait dengan memberitahukan kepada BPHN;
- Menghapus ketentuan Pasal 10 huruf (b) karena tugas pokok paralegal adalah memberikan bantuan hukum kepada masyarakat;
- Mengubah ketentuan Pasal 12 Ayat (2) sehingga pemberian laporan pengawasan dan evaluasi digabungkan dengan laporan program bantuan hukum;
- Merevisi Pasal 14 dengan memperjelas lebih lanjut mengenai ketentuan pendanaan yang dimaksud adalah terkait dengan pengawasan atau pendanaan yang ditujukan kepada paralegal.
Ketiga, Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum belum merata hadir di tiap-tiap daerah, di Jakarta sendiri sebagai pioneer konsepsi bantuan hukum (legal aid). Berangkat dari rekomendasi yang dapat diakomodir oleh pembentuk peraturan daerah dalam pembentukan Perda tentang Bantuan Hukum antara lain:
- Perda Bantuan Hukum DKI Jakarta melengkapi dan mensinkronisasi jaminan bantuan hukum yang sudah dijamin dan diamanatkan dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan;
- Jaminan bantuan hukum dapat diakses seluruh warga DKI Jakarta baik masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya;
- Hak bantuan hukum yang sama antara Tersangka/Terdakwa dengan Korban dan Saksi;
- Tidak membedakan anggaran antara bantuan hukum litigasi, non-litigasi atau layanan pendampingan hukum lain;
- Memastikan anggaran bantuan hukum mencakup kegiatan bantuan hukum yang belum didukung oleh Pemerintah Pusat maupun biaya operasional di luar jasa bantuan hukum;
- Kebijakan afirmasi pemberian bantuan hukum;
- Perlindungan dan penguatan peran paralegal.
Jalan klise setelah sempat sebelumnya simpang siur, akhirnya Perda tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum DKI Jakarta masuk ke dalam 35 Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) Prioritas yang akan dibahas di tahun 2023 dalam penetapannya di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda).
Keempat, kultur dan semangat pemberian akses bantuan hukum belum meluas kepada para Mahasiswa Hukum, Fakultas Hukum dan Advokat.
PERADI sendiri sebagai sebuah Organisasi Advokat sebatas menganjurkan kepada anggotanya untuk melakukan pro bono paling sedikit atau minimal 50 jam per tahunnya. Penerapan Clinical Legal Studies (CLE) dapat menjawab kebutuhan mahasiswa hukum untuk memahami kondisi faktual yang terjadi di lapangan, ketika berprofesi sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) terkhusus menjadi seorang advokat, dan dapat turut terlibat dalam pro bono melalui kerja sama dengan mitra maupun membentuk kelas klinik hukum di Fakultas Hukum.
Atas beberapa catatan di atas, LBH Jakarta memberikan rekomendasi sebagai berikut:
- Pemerintah RI dalam hal ini Presiden RI dan DPR RI untuk mengarusutamakan kepentingan pemberian akses bantuan hukum terhadap masyarakat miskin dan kelompok rentan secara luas;
- Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Dalam Negeri dan Kepala BPHN untuk:
- Mendorong Pemerintahan Daerah agar segera menginisiasi pembentukan Perda tentang Bantuan Hukum guna menghadirkan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan;
- Memberikan pengakuan yang mudah ditempuh bagi Paralegal guna membantu kerja-kerja pemberian bantuan hukum kepada komunitasnya, sehingga Paralegal dapat berjalan efektif ketika komunitasnya menghadapi permasalahan hukum;
- Pj. Gubernur DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta untuk berkomitmen dan memastikan Ranperda Penyelenggaraan Bantuan Hukum dibahas dan disahkan pada tahun 2023;
- Mahasiswa Hukum, Akademisi Hukum, Organisasi Advokat dan Fakultas Hukum se-Indonesia untuk berpartisipasi dalam mengarusutamakan perluasan akses bantuan hukum baik secara pro bono maupun dengan membentuk klinik hukum.